" Catatan kecil Indonesia Climbing Festival 2025
Kaki Tebing 125 membuatku terpaku. Seketika, ingatan melayang 35 tahun ke belakang, saat aku dan kawan-kawan Hipacita pertama kali belajar memanjat. Di sinilah semuanya bermula sekolah sekaligus rumah bagi para petualang Rock Climbing Citatah, surga karst Padalarang yang tak pernah lekang.
Mentari baru saja merekah ketika kami tiba. Dinginnya malam di kawasan Puncak Jawa Barat masih melekat di jaket, setelah kami menumpang truk sayur sejak dini hari.
Uyong, si ‘Setan Gunung’, masih ingat persis detailnya. Lewat pesan WA, ia menulis:
“Mang Supir yang baik itu memberikan tumpangan dari depan Pasar Cikokol, Tangerang, sejak dini hari, 16 Agustus 1990.”
Kala itu, darah muda kami memang sedang bergejolak. Antusiasme mengalir deras, mendorong kami mempelajari segala jenis peralatan panjat: harnes, carabiner, karmantel, descender, dan lain-lain. Tubuh yang ditempa latihan fisik diuji nyali di sini. Kami memanjat, terpeleset, jatuh, lalu bangkit lagi. Berulang-ulang. Ah, kenangan itu kembali menghampiri, seolah baru kemarin.
Kini, di tempat yang sama, aku hanya bisa menyaksikan dari bawah. Dulu, kami mengeja tebing dengan tangan, kaki, dan nyali wusss… angin bertiup kencang, jantung berdegup, adrenalin memacu. Sekarang, para pemanjat muda dengan lincah merayap, sementara para senior ternyata masih setia merawat passion mereka.
“Rock Master, panjat terus!” teriak mereka penuh keyakinan.
Api yang Tak Padam dan Sejarah yang Kembali Berulang
Seolah tak mau kalah dengan waktu, Djati Pranoto salah satu legenda panjat tebing nasional kembali menantang Citatah dalam event Rock Master. Tubuhnya mungkin tak lagi muda, tapi semangatnya masih membara. Perlahan ia merayap di tebing setinggi 125 meter, setiap gerakannya seperti dialog lama antara manusia dan batu.
Tak butuh waktu lama, Djati mencapai puncak. Sorak sorai pun pecah, menggema di udara Padalarang. Bukan sekadar untuk pencapaian, tapi untuk perjalanan panjang yang kembali hidup di depan mata.
“Ajib, keren… para pemanjat tua aja masih mampu memanjat tebing curam, kita yang muda enggak boleh kalah,” ujar Ranu, pemanjat muda dari Bogor.
Saat turun, dengan napas masih tersengal, Djati pun bernostalgia. Baginya, Citatah adalah sekolah panjat pertama.
“Haha.. ngos-ngos an euy, di sini saya kali pertama belajar panjat tebing. Dulu di tahun 80-an masih banyak monyet dan ular berkeliaran di Tebing Citatah,” tuturnya sambil tersenyum.
Citatah: Guru, Sekolah, dan Rumah yang Memanggil Pulang
Warisan karst Citatah memang istimewa. Gunung-gunung di sini mengandung batu sedimen kapur dan karang yang kokoh, membentuk tebing curam dengan beragam kemiringan. Yang paling terkenal tentu saja Tebing 48, Tebing 90, dan 125 semuanya menggoda para petualang sejati.
Bagi mereka, Citatah bukan cuma tebing. Ia sudah jadi sekolah, bahkan rumah. Namanya selalu bergaung, memanggil untuk pulang, tak peduli sejauh apa pun kami mengembara.
Seperti Erwin Tanjung, yang sengaja datang jauh-jauh dari Pulau Bangka.
Artikel Terkait
Polri Gandeng Polisi Hong Kong Kaji Ulang Strategi Penanganan Unjuk Rasa
BRIN Pacu Kolaborasi Riset untuk Jawab Tantangan di Daerah
Ibu Tiri di Bandung Jadi Tersangka, Diduga Aniaya Anak Tirinya Hingga Tewas
Panglima TNI dan Menteri Pertahanan Hadiri Rapat Tertutup Komisi I DPR