Dengan memahami prinsip dasar mazhab, ulama dapat menilai persoalan baru secara konsisten. Ini membuktikan bahwa ijtihad modern tak bisa dipisahkan dari fondasi klasiknya.
3. AI, Etika Data, dan Tanggung Jawab Moral
Ada satu masalah yang belum banyak dibahas di media lokal: potensi AI menjadi “rujukan fatwa”. Beberapa orang mulai mengandalkan model AI untuk membaca kitab fikih dan memberikan simpulan hukum. Al-Harbi pada 2023 menegaskan, AI hanyalah alat bantu. Ia tidak memiliki kesadaran moral maupun pemahaman konteks sosial yang menjadi syarat utama dalam penetapan hukum. Mazhab menuntut keterlibatan manusia karena fikih bukan sekadar logika, tetapi juga soal sensitivitas sosial.
Di sisi lain, isu lingkungan juga memerlukan pendekatan mazhab yang lebih progresif. Penelitian Ali dan Ramadan tahun 2020 menunjukkan, prinsip maslahah dapat diperluas untuk menangani isu seperti polusi, limbah, dan pemanasan global. Kaidah la darar wa la dirar yang menjadi dasar banyak keputusan hukum klasik bisa dipakai sebagai landasan etika lingkungan di era modern. Ini membuktikan bahwa perangkat mazhab masih sangat relevan untuk masalah yang melampaui batas waktu dan generasi.
4. Pendekatan Lintas Mazhab di Indonesia
Indonesia punya kekayaan tradisi fikih yang lentur. Ulama Nusantara secara historis menggunakan pendekatan lintas-mazhab dalam menghadapi persoalan adat dan dinamika sosial. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan maqasid al-syariah yang dikembangkan Auda pada 2015, yang menekankan pentingnya memahami tujuan hukum untuk menjawab persoalan baru.
Dengan memadukan kekuatan dari berbagai mazhab, fikih di Indonesia bisa tetap setia pada akar tradisi sekaligus responsif terhadap tantangan digital dan ekologis.
Jadi, pendekatan mazhab sepanjang sejarah menunjukkan bahwa fikih bukan sistem yang statis. Ia hidup dan tumbuh mengikuti zaman. Tantangan era digital AI, fintech syariah, hingga isu lingkungan tidak mengancam keberadaan mazhab. Justru sebaliknya, ia membuka ruang baru bagi penggunaan metodologi mazhab secara lebih kreatif dan kontekstual.
Penelitian mutakhir menegaskan bahwa perangkat metodologi klasik masih relevan untuk persoalan modern, selama dipahami dengan kerangka ijtihad yang tepat. Dengan pendekatan lintas-mazhab dan pembacaan berbasis maqasid, fikih tetap dapat menjadi rujukan etis yang realistis bagi masyarakat Indonesia.
Artikel Terkait
Laporan BTselem Ungkap Kematian Ribuan Warga Palestina di Tepi Barat
Dhani Buka Suara Soal Pemecatan dari PBNU: Dipecat karena Aktif Ikut 212
Polda Metro Bongkar Klaim Palsu Anak Propam dalam Video Viral
Monas Siap Dijubeli Jutaan Orang untuk Reuni 212, Palestina Jadi Sorotan