Mazhab di Era Digital: Antara AI, Fintech, dan Etika Lingkungan
Perubahan teknologi bergerak begitu cepat. Tapi, di balik derap inovasi digital, muncul persoalan keagamaan yang jarang diangkat media arus utama. Salah satunya, penggunaan kecerdasan buatan atau AI sebagai alat bantu penetapan hukum dan fatwa. Beberapa platform digital kini bahkan bisa merangkum pendapat ulama, memberikan simulasi hukum, hingga membuat keputusan awal berbasis data. Di saat yang sama, isu fintech syariah dan etika lingkungan turut mendorong pembaruan cara baca terhadap mazhab fikih.
Menariknya, sejumlah penelitian justru menunjukkan bahwa mazhab sebenarnya sangat adaptif. Hallaq dalam tulisannya tahun 2009 menjelaskan, mazhab bukanlah sistem yang membeku. Ia adalah tradisi hukum yang terus berubah, mengikuti dinamika masyarakat. Penelitian lain oleh Kamaruddin dan Fahmi juga memperlihatkan bahwa perangkat metodologi mazhab seperti qiyas, sadd al-dzari‘ah, dan kaidah kemudaratan ternyata masih dipakai secara aktif untuk menilai risiko keuangan digital syariah. Artinya, persoalan baru semacam AI dan data digital bukan cuma urusan teknologi belaka. Ini adalah ujian nyata bagi kemampuan mazhab menyesuaikan diri di zaman yang terus berubah.
1. Mazhab sebagai Sistem yang Tumbuh Bersama Zaman
Lihatlah sejarah. Setiap mazhab lahir dari konteks sosial dan budaya yang berbeda-beda. Mazhab Hanafi, misalnya, tumbuh di daerah urban dengan problem sosial yang kompleks. Itu sebabnya metode rasional lebih menonjol. Sementara Mazhab Maliki yang berkembang di Madinah justru menilai praktik masyarakat setempat sebagai sumber hukum yang kuat. Schacht mencatat pada 1982, perbedaan semacam ini bukan sekadar variasi pendapat. Ini adalah bukti nyata bahwa fikih selalu bergerak, mengikuti ritme kebutuhan masyarakat.
Nah, dalam konteks isu modern, pola yang sama sebenarnya masih berlangsung. Perubahan sosial baik dulu maupun sekarang terus mendorong ulama untuk memperluas cara baca terhadap teks dan kaidah hukum. Tantangan digital hanyalah bentuk baru dari dinamika yang sudah terjadi sejak masa klasik.
2. Ijtihad Kontemporer dan Pembacaan Ulang Metode Mazhab
Banyak orang berasumsi mazhab adalah “penghambat inovasi”. Tapi Osman pada 2016 membantah anggapan itu. Menurutnya, mazhab justru menyediakan perangkat metodologis yang sangat luas: mulai dari istihsan, maslahah, hingga kaidah umum yang memungkinkan ulama menjangkau kasus baru tanpa harus keluar dari tradisi. Dengan kata lain, mazhab itu bukan pagar, melainkan kompas.
Hal ini terlihat jelas dalam riset mengenai fintech syariah. Menurut Kamaruddin dan Fahmi, ulama memakai prinsip klasik untuk menilai mekanisme pinjaman digital, kontrak elektronik, dan risk exposure. Metode serupa juga bisa diterapkan untuk membaca kasus AI, verifikasi identitas digital, atau penyalahgunaan data pribadi selama pendekatan ijtihadnya tetap mengikuti kerangka mazhab yang terukur.
Artikel Terkait
Laporan BTselem Ungkap Kematian Ribuan Warga Palestina di Tepi Barat
Dhani Buka Suara Soal Pemecatan dari PBNU: Dipecat karena Aktif Ikut 212
Polda Metro Bongkar Klaim Palsu Anak Propam dalam Video Viral
Monas Siap Dijubeli Jutaan Orang untuk Reuni 212, Palestina Jadi Sorotan