Resolusi DK PBB 2803 tentang Gaza: Sebuah Langkah Ilegal yang Mengkhianati Hukum Internasional
Oleh: Dina Y Sulaeman, Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
Genosida masih berlangsung. Gencatan senjata pun tak mampu menghentikannya sepenuhnya. Di tengah situasi mencekam ini, dunia justru menyaksikan babak kelam baru: Dewan Keamanan PBB, yang seharusnya menjadi penjaga perdamaian global, malah berubah menjadi alat yang melegitimasi penjajahan.
Tanggal 17 November 2025 menjadi hari kelam bagi hukum internasional. Dewan Keamanan PBB mengesahkan Resolusi 2803 yang mendukung penuh rencana kontroversial Presiden Trump untuk Gaza. Resolusi ini mengizinkan pengerahan "Pasukan Stabilisasi Internasional" (ISF) ke Jalur Gaza dan memberlakukan sistem "Dewan Perdamaian" atau perwalian (trusteeship) yang pada praktiknya menempatkan Gaza di bawah kendali Amerika Serikat.
Yang cukup mengkhawatirkan, salah satu mandat utama ISF adalah melucuti Hamas dan kelompok perlawanan lain di Gaza. Intinya, pasukan internasional ini ditugaskan mewujudkan apa yang gagal dilakukan Israel selama dua tahun pertempuran brutal - meski dengan genosida dan penghancuran masif.
Memang secara formal ISF juga diberi tugas melindungi warga sipil dan mendukung bantuan kemanusiaan. Tapi bisa kita berharap banyak pada pasukan yang dikendalikan AS? Terutama ketika Israel sendiri kerap mengabaikan gencatan senjata dan hukum internasional tanpa konsekuensi berarti.
Merespons hal ini, Hamas dan faksi perlawanan Gaza langsung bereaksi.
Mereka mengeluarkan pernyataan bersama yang menolak keras rencana Trump dan resolusi DK PBB tersebut. Menurut mereka, ini adalah bentuk perwalian paksa yang jelas-jelas membatasi hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dibalik legalitas: Mengapa Resolusi 2803 cacat hukum?
Masalah terbesarnya terletak pada pelanggaran terhadap fondasi paling dasar hukum internasional.
Ralph Wilde, pakar hukum internasional ternama dari University College London, dengan tegas menyatakan resolusi ini batal demi hukum. Alasannya? Tindakan Dewan Keamanan ini ultra vires, alias melampaui kewenangannya menurut Piagam PBB.
Argumen pertama, resolusi ini berusaha menghidupkan kembali sistem perwalian yang sebenarnya sudah ditolak dan dihapus pasca Perang Dunia II. Sistem kolonial ini dulu digunakan untuk menguasai wilayah seperti Afrika dan Palestina dengan dalih "misi memberadabkan". Kini logika kolonial yang sama diterapkan kembali ke Gaza.
Kedua, hak menentukan nasib sendiri memiliki status jus cogens dalam hukum internasional. Artinya, hak ini bersifat mutlak - tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apa pun, bahkan oleh Dewan Keamanan sekalipun. Karena Resolusi 2803 bertentangan dengan norma ini, maka secara otomatis menjadi tidak sah.
Wilde juga menegaskan bahwa bahkan jika Otoritas Palestina menyetujui rencana ini, persetujuan itu tetap tidak sah secara hukum. Bagaimana mungkin? Persetujuan diberikan dalam kondisi pemaksaan militer dan agresi sejak 1967, dan digunakan untuk melegalkan pelanggaran terhadap norma jus cogens.
Artikel Terkait
Setelah Lima Tahun Pisah, Fahmi Bo dan Nita Anita Kembali Menyatukan Hati
Sintang Siap-Siap, Kantong Plastik Akan Resmi Dihapus Mulai Desember 2025
Sumselingo Pecah Kebekuan, Gen Z Palembang Kini Berani Ngomong Inggris
Sintang Siap Sambut Raimuna Daerah 2025, Persiapan Dinyatakan Tuntas 100 Persen