Ilusi multipolaritas: Rusia dan China ternyata bukan penyeimbang
Ketika lembaga tertinggi PBB mengabaikan genosida yang terjadi di depan mata, lalu aktif memberikan legitimasi bagi pendudukan, dunia sebenarnya sedang meluncur menuju rezim global tunggal yang kebal hukum.
Resolusi 2803 ini membuka mata kita pada kenyataan pahit: Rusia dan China, yang selama bertahun-tahun digadang-gadang sebagai kutub baru dalam tatanan multipolar, ternyata hanya ilusi.
Banyak yang berharap pada "kebangkitan multipolaritas", bahwa kedua negara ini akan menjadi penyeimbang dominasi AS dan Eropa Barat. Tapi kenyataannya? Moskow sibuk dengan Ukraina dan kepentingan geopolitiknya sendiri, sementara Beijing lebih fokus pada stabilitas dan hubungan dagang. Palestina jelas bukan prioritas mereka.
Memang Rusia dan China mengaku tidak setuju dengan isi resolusi. Tapi mereka tidak berani menggunakan hak veto untuk mencegah disahkannya resolusi kolonial ini.
Yang lebih menyedihkan, masyarakat sipil di kedua negara ini tidak menunjukkan perhatian serius pada Palestina. Tidak ada gelombang solidaritas massal seperti yang kita saksikan di negara-negara Barat.
Jadi, multipolaritas yang adil yang kita bayangkan? Itu hanya mitos. Palestina membuktikan bahwa "tatanan dunia baru" masih dikuasai oleh aktor-aktor lama.
Kesimpulan: Saatnya beralih ke panggung perlawanan yang baru
Dengan Rusia dan China yang ternyata sejalan dengan kemauan AS, jelas DK PBB tidak bisa lagi diharapkan untuk menegakkan hukum internasional atau menjaga martabat kemanusiaan.
Inilah kenyataan pahit yang harus diterima: DK PBB telah kehilangan legitimasi moralnya.
Ketika DK PBB sudah dikooptasi, ketika negara-negara besar abai pada keadilan, dan negara-negara lain hanya ikut-ikutan tanpa kritik, maka harapan harus dialihkan.
Masyarakat global tidak bisa lagi bergantung pada struktur elite atau "kutub baru". Harapan sekarang ada di tangan rakyat biasa - para demonstran yang membanjiri jalanan menuntut penghentian genosida Gaza, generasi muda yang berani membongkar propaganda, dan negara-negara kecil yang berani menyuarakan kebenaran. Palestina mengajarkan kita bahwa perlawanan bukan sekadar diplomasi, tapi perjuangan eksistensi melawan tirani global.
Terakhir, Indonesia perlu waspada. Jangan sampai negeri ini ditunggangi oleh kepentingan negara-negara besar untuk memuluskan agenda kolonial.
Resolusi 2803 yang memalukan ini - atau seperti dikatakan Prof Mearsheimer yang pernah diundang Presiden Prabowo untuk memberikan pembekalan geopolitik, "disgraceful" - seharusnya tidak didukung Indonesia. Apalagi sampai ikut serta dalam Pasukan Stabilisasi Gaza.
Artikel Terkait
Setelah Lima Tahun Pisah, Fahmi Bo dan Nita Anita Kembali Menyatukan Hati
Sintang Siap-Siap, Kantong Plastik Akan Resmi Dihapus Mulai Desember 2025
Sumselingo Pecah Kebekuan, Gen Z Palembang Kini Berani Ngomong Inggris
Sintang Siap Sambut Raimuna Daerah 2025, Persiapan Dinyatakan Tuntas 100 Persen