Johannesburg bergeliat. Di kota yang disebut Presiden Cyril Ramaphosa sebagai "tempat lahir peradaban manusia" ini, para pemimpin dunia berkumpul untuk KTT G20 yang bersejarah. Pertama kalinya acara sekelas ini dihelat di tanah Afrika. Suasana semestinya penuh harapan. Tapi, di balik kemegahan acara pembukaan pada Sabtu (22/11) itu, ada satu kursi yang kosong mencolok: kursi Amerika Serikat.
Ramaphosa, dengan nada tegas, berusaha menepis bayangan boikot yang digaungkan Donald Trump. "Kita tidak boleh membiarkan apa pun mengurangi nilai, kedudukan, dan dampak dari KTT G20 Afrika yang pertama ini," serunya di hadapan para delegasi. Ia menekankan bahwa pertemuan ini harus menjadi cermin aspirasi masyarakat global, bukan kepentingan segelintir negara saja.
Di sisi lain, keputusan Trump untuk memboikot acara ini bukanlah rahasia lagi. Lewat unggahan media sosialnya, Trump menyatakan dengan gamblang, "Sungguh memalukan bahwa G20 akan digelar di Afrika Selatan." Alasan utamanya? Kekerasan dan penyitaan lahan pertanian yang menimpa warga kulit putih atau Afrikaner di negara tersebut. Sebagai bentuk protes, tidak ada satu pun delegasi resmi AS yang diizinkan hadir. Bahkan rencana pengiriman Wakil Presiden JD Vance pun akhirnya dibatalkan.
Bagi Ramaphosa, langkah Trump ini jelas sebuah kemunduran. Dalam sebuah kutipan yang dilansir AP beberapa hari sebelumnya, ia tak segan menyampaikan kekecewaannya. "AS harus mempertimbangkan kembali apakah boikot politik benar-benar berhasil. Karena berdasarkan pengalaman saya, boikot politik tidak efektif," ujarnya. Ia bahkan menyebut keputusan Trump itu justru akan merugikan AS sendiri.
Ketegangan ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Pemerintahan Trump sejak awal memang sinis terhadap Afrika Selatan. Menteri Luar Negeri mereka, Marco Rubio, sampai-sampai mangkir dari pertemuan tingkat menteri di sini bulan Februari lalu. Dia menuding kebijakan Afsel anti-Amerika dan mengolok-olok fokus isu yang diusung tuan rumah, seperti perubahan iklim dan kesenjangan global.
Namun begitu, Ramaphosa tampaknya bertekad untuk tidak terpengaruh. Dalam pidatonya, ia membangun narasi yang berbeda: tentang persatuan. "Kita di sini untuk memperkuat kerja sama, mencari solusi bersama, dan memastikan bahwa kemitraan kita benar-benar berhasil mengatasi masalah-masalah dunia," tegasnya. Gagasan bahwa umat manusia adalah satu keluarga besar menjadi tema yang terus diulang-ulang.
Artikel Terkait
Banding Razman Arif Nasution Ditolak, Vonis 1,5 Tahun Penjara Dikuatkan
Begal Sadis Serang Warga di Flyover Kampung Melayu, Motor PCX Raib
China Gebuk Protes ke PBB, Jepang Dikecam Soal Komentar Intervensi Militer di Taiwan
Prabowo dan PM Inggris Sepakati Kemitraan Maritim Senilai Rp 87 Triliun