Panitia Pengadaan PLN waktu itu disebut-sebut telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN, Alton, dan OJSC. Padahal, mereka sebenarnya tak memenuhi syarat administrasi maupun teknis. Lalu, setahun sebelum kontrak ditandatangani, tepatnya tahun 2009, KSO BRN mengalihkan pekerjaan itu ke PT PI. Termasuk penguasaan rekening KSO BRN, dengan imbalan fee untuk PT BRN.
Saat penandatanganan kontrak akhirnya dilakukan pada 11 Juni 2009, PLN ternyata belum punya pendanaan yang jelas. Mereka juga tahu bahwa KSO BRN belum melengkapi persyaratan yang diperlukan.
Hingga kontrak berakhir di tanggal 28 Februari 2012, KSO BRN dan PT PI cuma menyelesaikan 57% pekerjaan. Bahkan setelah kontrak diamandemen sampai sepuluh kali dan berakhir pada 31 Desember 2018, penyelesaian proyek masih mentok di 85,5%. Alasannya? Ketidakmampuan keuangan.
Padahal, dana yang sudah diterima KSO BRN tidak sedikit: Rp 323,1 miliar lebih untuk konstruksi sipil, dan USD 62,4 juta untuk pekerjaan Mechanical Electrical. Tapi nyatanya, PLTU 1 Kalimantan Barat sampai hari ini masih mangkrak.
Polri pun akhirnya menetapkan empat orang sebagai tersangka. Selain Halim Kalla, ada Hartanto Yohanes Lim, Fahmi Mochtar (yang dulu menjabat sebagai Direktur Utama PLN periode 2008–2009), serta Dirut PT BRN berinisial RR.
Mereka semua dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Artikel Terkait
Pin Semangka Álvaro Morte di San Sebastian Serukan Hentikan Genosida
Mediasi Ijazah Jokowi Mentok, Cekal Menggelinding Bak Bola Salju
Putri Reema, Diplomat Perempuan yang Mendobrak Tradisi di Balik Kunjungan MBS
Bonjowi Gulirkan Gugatan ke KIP, Misteri Ijazah Jokowi Kembali Dipertanyakan