Yanti dan Manik-Manik yang Tak Sempat Jadi Toko

- Rabu, 10 Desember 2025 | 08:06 WIB
Yanti dan Manik-Manik yang Tak Sempat Jadi Toko

Delapan tahun sudah berlalu sejak anak keempat saya lahir. Dalam rentang waktu yang panjang itu, saya menyaksikan sebuah kisah yang pilu. Kisah itu justru berubah menjadi belenggu mencekam bagi seorang perempuan bernama Yanti. Awalnya, saya mengira perkenalan kami akan jadi awal persahabatan yang indah. Ternyata, di baliknya tersimpan konflik batin yang begitu mengerikan.

Belenggu yang mengikat Yanti bukan dari besi, apalagi dinding penjara yang dingin. Jerujinya jauh lebih rumit. Itu lahir dari trauma masa lalu yang tak pernah tuntas. Luka batin itu mengeras, menjelma jadi kenyataan pahit yang perlahan merenggut kebebasan dan potensi seseorang yang dulu sangat saya kagumi.

Cerita Yanti mengingatkan kita dengan cara yang tajam. Di balik kemajuan zaman, ternyata masih ada air mata yang tumpah karena beban yang tak kasat mata. Ini bukan cuma tentang penderitaannya semata. Lebih dari itu, ini menunjukkan bagaimana trauma yang terabaikan bisa menjadi belenggu permanen. Bahkan, membawa seseorang pada takdir yang tak terpikirkan: pemasungan.

Dari Keheningan Lahir Sebuah Harapan

Saya mengenal Yanti tak lama setelah saya menikah. Dia pendiam, tapi suka menolong. Di balik keheningannya, tersimpan bakat yang luar biasa. Tangannya sangat apik merangkai manik-manik menjadi kerajinan hantaran pernikahan yang cantik. Setiap pulang ke kampung suami, saya selalu menyempatkan diri mampir ke rumahnya.

Saya sungguh kagum pada keuletannya. Meski cuma lulusan MTS, cita-citanya besar: punya toko hantaran sendiri. Setiap bercerita soal usahanya, matanya berbinar.

“Banyak tetangga yang percaya sama Yanti,” katanya suatu kali, penuh kebanggaan.

Tapi Yanti itu nyaris tanpa suara. Dia menjaga jarak, sangat hati-hati memilih lawan bicara. Hanya akan bercerita jika merasa aman. Kepribadiannya yang tertutup ini selalu membuat saya penasaran.

Kami butuh waktu cukup lama untuk bisa ngobrol dengan nyaman. Meski begitu, dia tak pernah menolak kunjungan saya. Perlahan, kami pun mulai akrab. Sesekali tertawa bersama momen kehangatan sederhana yang membuat saya makin mengagumi si pekerja keras di balik kerajinan manik-manik itu.

Harga Mahal Sebuah Larangan

Lama-kelamaan, saya mulai paham. Keheningan Yanti ternyata buah dari tekanan batin yang sudah mengendap bertahun-tahun. Dia anak pertama dari empat bersaudara, dibesarkan oleh ayah yang tabiatnya sangat keras. Sosok ayah inilah kunci dari semua trauma yang dia tanggung.

Puncaknya terjadi saat Yanti baru lulus MTS. Dia punya keinginan kuat untuk lanjut sekolah. Sayangnya, harapan itu harus pupus di tangan ayahnya sendiri.

Dilarang keras. Alasannya menyakitkan: biaya sekolah lebih diutamakan untuk adik-adiknya. Keputusan sepihak yang disampaikan dengan kasar itu ditambah memori kelam masa kecilnya membuat Yanti memilih menyimpan lukanya dalam diam. Suaranya seolah dicabut paksa dari dirinya.


Halaman:

Komentar