Di situlah saya sadar. Luka batin yang tak terucap itu jadi benang tak kasat mata dalam hidupnya. Luka yang coba dia sembunyikan, dan mungkin dia “sembuhkan” dengan fokus merangkai manik-manik hantaran.
Saat Dunia Menjadi Asing
Lalu suatu ketika, saat saya kembali ke kampung, rumah Yanti terlihat sepi. Jendela-jendelanya tertutup. Tak ada tanda-tanda aktivitas merangkai manik-manik seperti biasa. Saya kaget, tentu saja.
Katanya, Yanti sudah berhenti dari usaha kerajinannya. Dia pindah ke Bandung, konon membantu saudaranya di sana. Saya berharap ini awal yang baik kesempatan buatnya menggapai mimpi punya toko, jauh dari tekanan masa lalu.
Tapi beberapa bulan kemudian, kabar buruk datang bagai petir di siang bolong. Yanti sudah pulang dari Bandung. Dia kembali ke rumah, tapi kondisinya berubah drastis. Baik fisik maupun mental.
Kabarnya yang paling menyakitkan: Yanti sudah tidak mengenali saya lagi. Sosok lembut yang dulu saya kenal kini jadi asing. Semua kehangatan yang pernah kami bagi seolah terhapus dari ingatannya.
Saya tak sempat melihat langsung perubahan mengerikan itu. Hanya mendengar cerita dari orang-orang. Kisah yang membuat hati teriris, menyadari bahwa titik balik hidupnya bukanlah awal baru, melainkan awal sebuah tragedi.
Tragedi Pemasungan di Era Modern
Yang paling memilukan, saya dengar Yanti kini dipasung di rumahnya sendiri. Orang tuanya terpaksa memasukkannya ke dalam jeruji kayu. Katanya, demi keselamatan keluarga dan Yanti sendiri, karena kadang dia bersikap agresif.
Sungguh, hati ini teriris. Di awal-awal pemasungan, saya sempat dengar teriakannya yang pilu menyayat. Saya hancur. Tak percaya praktik seperti ini, yang saya kira sudah musnah, ternyata masih ada tepat di depan mata, tanpa saya bisa berbuat apa-apa.
Keluarganya sudah berikhtiar, kok. Dibawa berobat ke rumah sakit jiwa. Pernah ada masanya dia terlihat normal, lalu berubah drastis lagi. Saya tak berhak menghakimi keputusan orang tuanya. Tapi sulit sekali menerima kenyataan bahwa di masa sekarang, masih ada perempuan yang harus mengalami ini.
Kondisinya sangat memprihatinkan. Katanya, sesekali dia tak mau dimandikan. Rambutnya sudah gimbal dan kotor, menyerupai punuk unta. Yanti, si perangkai harapan, kini terbelenggu. Dia jadi monumen bisu atas kegagalan kita menyembuhkan luka batin. Potensi seorang perempuan hebat, akhirnya dipasung oleh trauma yang tak tertangani.
Artikel Terkait
Gusti Bendara: Menjembatani Tradisi Keraton dan Tuntutan Zaman di Ujung Jari
Waspadai Cek Palsu: Begini Cara Membedakannya dengan Mudah
Kekayaan Rp12,85 Miliar Bupati yang Terjaring OTT KPK
MONDIAL Luncurkan Koleksi Berlian untuk Malam Tahun Baru yang Tak Terlupakan