Kenangan Pantai dan Lapangan: Sebuah Rindu untuk Masa Kecil di Pangandaran

- Jumat, 19 Desember 2025 | 01:06 WIB
Kenangan Pantai dan Lapangan: Sebuah Rindu untuk Masa Kecil di Pangandaran

Kalau mengingat masa kecil, yang terlintas adalah lapangan luas, tawa yang tak henti, dan rasa bebas yang sekarang sulit ditemukan. Bagi saya, rentang tahun 2013 hingga 2019 adalah segalanya tentang itu. Dunia waktu itu rasanya sederhana sekali: penuh teman, petualangan seru, dan kenangan yang sampai sekarang masih melekat kuat.

Namun begitu, semakin dewasa, kerinduan akan masa-masa itu justru makin menjadi. Melihat anak-anak berlarian di taman, hati ini langsung terasa hangat dan sedih campur aduk. Ingin kembali, meski cuma sebentar, merasakan lagi kebahagiaan polos yang dulu begitu mudah didapat.

Saya besar di Pangandaran. Kabupaten kecil yang terkenal dengan dua pantai cantiknya: Barat dan Timur. Masing-masing punya karakternya sendiri, dan jadi tempat favorit kami untuk menghabiskan waktu.

Pantai Barat itu magnetnya di senja. Kalau cuaca lagi bagus, pemandangan matahari terbenamnya bikin orang betah duduk lama-lama. Langit berubah jadi galeri warna, dari jingga, merah, sampai ungu. Kami sering duduk di pasir yang masih menyimpan hawa panas siang, ditemani angin laut yang pelan, menunggu matahari pelan-pelan hilang.

Di sisi lain, Pantai Timur menawarkan ketenangan yang berbeda. Ombaknya lebih kalem, cocok buat main air dan kejar-kejaran di tepi tanpa waswas. Suara ombak kecil yang menyapu kaki, ditambah gelak tawa kami, jadi soundtrack masa kecil yang sempurna.

Dua pantai itu, ditambah kebersamaan dengan teman-teman, yang warnai hari-hari saya. Setiap kunjungan ke sana selalu berakhir dengan kenangan manis tentang persahabatan dan keceriaan yang tulus.

Rutinitas sore kami biasanya dimulai setelah mengaji di Masjid Al Bahar. Langsung saja kami menuju lapangan basket di Hotel Pantai Indah. Itu markas besar kami. Main bola, bersepeda, atau sekadar nongkrong sambil cerita-cerita receh. Pikiran waktu itu bersih, belum dipenuhi urusan ujian atau tugas yang menumpuk.

Permainan andalan ya petak umpet. Lapangan dan area sekitar hotel itu medan pertempuran kami. Saya masih ingat jelas sensasi bersembunyi di balik batu besar yang ditutupi lumut. Dari celah-celah, saya bisa mengintai pergerakan mereka. Suara daun berdesir dan kicau burung bikin suasana makin tegang. Jantung berdebar-debar menunggu hitungan selesai.

"Kami akan mencari kalian dalam hitungan sepuluh!"

Teriakannya menggema. Saya menahan napas, berusaha keras tidak ketawa atau bergerik. Lalu terdengar langkah-langkah mulai menyebar, mencari. Sorak-sorai saat ada yang ketemu, atau tawa lepas karena strategi konyol yang gagal total, itu adalah musik bagi kami.

Kadang kami main curang. Misalnya, bersembunyi di dekat si penjaga, atau kasih kode diam-diam. Tapi ya sudahlah, yang penting seru. Kami bisa main sampai maghrib, baru bubar untuk mandi dan makan.


Halaman:

Komentar