Begitu azan maghrib berkumandang, kami sudah harus ada di masjid lagi. Belajar mengaji dan tadarus dipandu Ustaz Maman dan Ustaz Syamsudin. Mereka guru yang baik, tapi tegas. Kami belajar sampai waktu isya. Kadang, kalau masih belum ngantuk, kami lanjut keliling Pangandaran naik sepeda. Itu kebebasan sederhana yang terasa sangat luas.
Semua berubah sekitar tahun 2020. Kami masuk ke sekolah menengah yang berbeda. Kesibukan baru mulai datang: belajar, les, tanggung jawab yang makin banyak. Perlahan-lahan, waktu berkumpul pun menghilang. Rasanya aneh, tiba-tiba sepi. Melewati lapangan basket itu sekarang sering bikin hati berkecamuk, dihantam rindu yang nggak jelas ujungnya.
Nostalgia itu paling sering datang saat saya buka-buka foto lama. Setiap gambar adalah pintu ke dunia yang sudah lewat. Wajah-wajah ceria, senyum lebar, mata yang berbinar. Saya merindukan hal-hal kecil: berbagi jajanan murah di bawah pohon kelapa, menggambar di pasir, atau tidur-tiduran sambil tebak bentuk awan.
Ikatan kami dulu sangat kuat. Tapi sekarang? Rasa gengsi justru jadi tembok yang sulit ditembus. Ingin sekali mengajak mereka kumpul lagi, tapi selalu dibayangi pikiran: jangan-jangan mereka sudah berubah, atau malah sibuk dengan dunianya masing-masing. Takut dianggap mengganggu, atau pertemuannya nanti jadi canggung.
"Apa kabar mereka sekarang? Apa masih ingat masa-masa ini?"
Pertanyaan itu sering muter di kepala. Membayangkan mereka sibuk dengan pelajaran SMP, ekskul, atau teman-teman baru. Lihat foto lama yang penuh tawa, justru bikin rasa sepi itu makin dalam. Ada jarak yang terasa, meski mungkin cuma ada di kepala saya.
Tapi akhirnya saya sadar. Gengsi ini cuma bikin kita makin menjauh dari sesuatu yang pernah sangat indah. Kenangan itu terlalu berharga untuk dibiarkan memudar begitu saja. Mungkin tidak ada salahnya untuk mencoba. Mengambil langkah pertama.
Saya mulai membayangkan lagi: menghubungi mereka, janjian ketemu di lapangan atau pantai lama. Cuma ngobrol, tertawa, cerita tentang hidup yang sekarang. Mungkin kami tidak bisa kembali ke masa kecil, tapi kami bisa merajut lagi ikatan yang sempat terputus.
Daftar nama sudah saya susun. Rencana pesan singkat pun mulai dipikirkan. Akhir pekan mungkin waktu yang tepat. Saya yakin, di balik kesibukan masing-masing, masih ada sedikit ruang untuk kenangan yang dulu kami bangun bersama.
Masa kecil memang tidak bisa diulang. Tapi percayalah, rasanya tidak harus hilang sama sekali. Dengan sedikit keberanian untuk membuka diri, siapa tahu kita bisa menemukan kembali kehangatan itu. Bukan sebagai anak-anak, tapi sebagai teman yang pernah berbagi cerita paling bahagia dalam hidup.
Artikel Terkait
Trump Media Gabung dengan Perusahaan Fusi Nuklir, Nilainya Tembus Rp 100 Triliun
Polisi Buru Pelaku Pembakaran Lapak di Kalibata, Diduga Balas Dendam Kematian Mata Elang
Kadin dan Menkeu Bahas Strategi Dongkrak Ekspor Mebel dan Rebut Peluang Semikonduktor
Operasi Nataru BPOM: 92 Ribu Kemasan Pangan Ilegal Terbongkar