Lima tahun terakhir, BNI punya cerita sendiri. Bank pelat merah itu getol menjalankan program de-risking, dan kini, hasilnya mulai terlihat. Bukan cuma angka-angka di laporan keuangan yang membaik, tapi fondasi untuk tumbuh ke depan disebut-sebut jauh lebih kokoh.
Ingat masa pandemi? Saat itu, industri perbankan benar-benar tertekan. NPL membengkak, laba merosot. BNI, seperti bank lain, merasakan dampaknya. Nah, sejak 2020 itulah mereka merancang strategi khusus: menata ulang portofolio, memperbaiki kualitas aset, dan membangun ketahanan perusahaan. Intinya, mereka tak mau sekadar bertahan, tapi ingin bangkit dengan struktur yang lebih sehat.
Menurut Razqi M. Kurniawan, analis dari Bahana Sekuritas, program ini dirancang untuk membersihkan kredit bermasalah dan menggeser eksposur ke sektor serta debitur yang lebih kuat. Prosesnya berjalan sistematis, fokus pada pengetatan manajemen risiko.
Ujar Razqi dalam risetnya yang dikutip awal Desember lalu. Dan memang, angka CoC pada September 2025 sudah menyentuh level 1 persen yang terendah sepanjang periode transformasi ini. Bahkan, trennya diproyeksikan terus turun ke 0,9 persen di tahun depan. Ini sinyal kuat bahwa kualitas kredit mereka sedang dalam tren membaik.
Lalu, bagaimana dengan kredit bermasalah? Di tengah kondisi ekonomi yang masih menantang, rasio NPL BNI justru stabil di angka 2 persen. Yang lebih menggembirakan, kemampuan bank dalam menyerap risiko meningkat drastis. Rasio NPL coverage-nya melonjak sampai 222,7 persen. Angka pencadangan setebal itu termasuk yang tertinggi di industri, menunjukkan bantalan risiko mereka sangat memadai. Artinya, BNI punya ruang lebih lega untuk menghadapi gejolak tanpa perlu panik menambah cadangan.
Artikel Terkait
Nelayan Gresik Manfaatkan Panel Surya Apung untuk Keramba Ikan
Yogya Jadi Primadona, 5,15 Juta Orang Siap Serbu Kota Gudeg Saat Nataru
Iming-iming Bantuan Rp10 Juta, Kerumunan Serbu Kantor BSI
Zootopia 2 Pacu Pendapatan Global, Geser Jurassic World di Box Office 2025