Belakangan ini, saya jadi sering memperhatikan satu kebiasaan berbahasa. Khususnya di dunia kerja. Sebelum bicara, orang-orang seperti punya mantra wajib: "mohon izin...", "izin bertanya...", atau "siap". Rasanya, tanpa frasa pembuka itu, percakapan dianggap belum sah. Seolah-olah itu prosedur standar untuk bernapas.
Yang bikin geli, sering kali ungkapan itu sama sekali nggak nyambung dengan kalimat setelahnya. "Mohon izin, saya sudah kirim emailnya." Atau, "Mohon izin, saya setuju." Bahkan sampai, "Mohon izin, saya sudah duduk." Serius, ini beneran terjadi.
Jelas, maksudnya baik. Ingin terlihat sopan dan tertib. Tapi, pernah nggak sih kita bertanya: dari mana asal-usul kebiasaan ini? Dan yang lebih penting, apa dampaknya buat interaksi kita sebagai sesama?
Ini bukan lagi sekadar selingan kata. Ini sudah jadi verbal tic kebiasaan ucapan refleks, cepat, dan berulang. Awalnya mungkin cuma di lingkungan pemerintahan atau korporat, tapi sekarang udah merambah ke mana-mana. Obrolan di warung kopi, ngobrol dengan driver ojol, sampai chat grup keluarga. Seakan tanpa "mohon izin", omongan kita dianggap kurang beradab.
Bahasa Militer yang Menyebar ke Mana-mana
Sebenarnya, fenomena ini punya akar yang jelas. Dalam tradisi militer, frasa seperti "siap" atau "mohon izin" adalah bagian dari disiplin komando. Sistem ini menuntut respons yang tegas, hierarkis, dan tanpa ambiguitas sangat efektif dalam situasi operasi.
Masalahnya mulai muncul ketika "language game" ini bermigrasi ke ranah sipil. Pemerintahan, dengan budaya birokrasinya yang vertikal, jadi tanah subur pertamanya. Lama-lama, sektor swasta pun ikut-ikutan. Mereka mengadopsinya, mungkin karena dianggap terkesan disiplin dan efisien.
Namun begitu, yang ikut berpindah bukan cuma katanya. Nilainya juga. Nuansa egaliter dan kolaboratif dalam percakapan sipil pelan-pelan tergerus oleh aroma komando dan subordinasi.
Rapat brainstorming yang mestinya cair, tiba-tiba jadi kaku seperti apel pagi. Setiap mau angkat bicara harus "mohon izin" dulu. Setiap tugas diakhiri dengan "siap". Bahkan di grup WhatsApp keluarga, saya lihat ada yang nanya, "Mohon izin, mau tanya, besok makan bersama jadi nggak?"
Ini diskusi keluarga, bukan briefing pasukan.
Suasana jadi berjarak. Kreativitas yang butuh keberanian untuk beda pendapat, akhirnya menguap begitu saja. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya terjadi? Cuma tren bahasa, atau gejala yang lebih dalam?
Feodalisme Baru, Bungkusnya Modern
Ini yang saya sebut feodalisme linguistik. Kita sudah puluhan tahun merdeka, tapi mentalitas kolonial ternyata masih bercokol, lewat kata-kata yang kita anggap "normal".
Feodalisme nggak selalu soal menyembah raja. Bisa juga tentang penerimaan tanpa kritik terhadap hierarki, dan ritual bahasa yang terus menegaskan posisi "bawah" dan "atas".
Contoh paling nyata dan agak menggelikan adalah budaya "mengosongkan nomor urut" di daftar hadir. Berapa sering kita lihat lembar presensi dengan nomor 1, 2, dan 3 yang sengaja dikosongkan buat si bos? Padahal, yang datang duluan kan staf biasa. Logikanya presensi siapa datang duluan, dong.
Saya sempat mikir, jangan-jangan ini tradisi atau ada pantangan mistis. Ternyata enggak. Ini murni ketakutan sosial. Semacam penghormatan simbolik yang nggak perlu.
Kalau daftar hadir saja nggak egaliter, gimana dengan percakapannya?
Dalam interaksi profesional, terutama dengan instansi pemerintah, kesan "tidak setara" ini sangat terasa. Dialog nggak mengalir sebagai pertukaran ide, tapi lebih mirip laporan bawahan ke atasan. Kata "mohon izin" jadi tembok pembatas halus yang mengingatkan semua orang soal posisinya dalam piramida imajiner itu.
Padahal semangat kolaborasi modern kan seharusnya mitra-kemitraan, bukan atasan-bawahan.
Artikel Terkait
Tiga Menteri Turun Langsung Groundbreaking 2.600 Hunian Korban Bencana Sumatera
SPBU Nelayan Resmi Dibangun di Tukak, Dukung Kesejahteraan Pesisir
Tol Serang-Panimbang Gencar Gelontorkan Diskon Liburan Nataru di Banten
KSAD Maruli Simanjuntak Ungkap Tantangan Perbaikan Jembatan Pascabencana di Sumatera