Mohon Izin dan Ritual Bahasa yang Mengukir Jarak

- Jumat, 19 Desember 2025 | 13:20 WIB
Mohon Izin dan Ritual Bahasa yang Mengukir Jarak

Bayangkan kalau filsuf Ludwig Wittgenstein hadir di rapat semacam itu. Dia mungkin bakal mencatat, "Di beberapa kantor di Jakarta, permainan bahasanya mirip latihan militer." Sebab bagi dia, bahasa itu permainan. Dan permainan yang sedang dimainkan di ruangan itu jelas sekali: permainan hierarki.

Kita, sayangnya, sering terjebak bermain di papan yang salah.

Lalu, Bisakah Bahasa Didemokratisasi?

Ada yang bilang, "Ah, itu cuma pembuka. Jangan dibesar-besarkan."

Mungkin benar. Tapi kita nggak bisa tutup mata. Pilihan bahasa membentuk pola pikir kolektif. Di banyak negara yang lebih egaliter, orang bicara langsung ke pokok: "I think...", "Let's discuss...". Tanpa lapisan "kesopanan" hierarkis yang nggak selalu diperlukan.

Wittgenstein pernah bilang, batas bahasaku adalah batas duniaku.

Kalau bahasa kita terlalu sering pakai pola "mohon izin", dunia yang tercipta adalah dunia di mana kita selalu menempatkan diri lebih rendah. Maka nggak heran percakapan jadi kaku. Ruang kreatif menyempit. Yang berbahaya, tanpa sadar kita membangun budaya tunduk.

Lantas, harus hapus kata-kata itu dari kamus? Nggak juga. Bahasa berkembang. Di banyak konteks, justru jadi bahan canda yang asyik. Nggak ada yang salah dengan bentuk bahasanya. Yang perlu kita waspadai adalah semangat hierarkis yang menyelinap di balik penggunaannya.

Banyak alternatif yang lebih egaliter tapi tetap hormat. Ganti "Mohon izin" dengan "Permisi, saya akan menyampaikan..." atau langsung saja, "Saya akan memulai presentasi mengenai...". Pendengar yang beradab akan paham kapan waktunya menyimak.

Ganti juga "Siap" yang kaku dengan "Baik, akan saya kerjakan" atau "Paham, saya tindak lanjuti". Responsnya tetap afirmatif, tapi lebih manusiawi.

Pada intinya, ini soal kebiasaan mental. Setiap kata yang kita ucapkan nggak cuma menyampaikan info, tapi juga membentuk realitas hubungan. Bahasa membangun budaya. Kalau kita pilih kata yang setara, kita aktif membangun budaya yang egaliter.

Sebagai bangsa yang menjunjung demokrasi, kita seharusnya nggak terjebak budaya komunikasi yang menempatkan seseorang lebih rendah tanpa alasan. Egaliter bisa dimulai dari hal kecil: cara kita membuka kalimat.

Langsung Saja, Tak Perlu Minta Izin

Mengubah kultur berbahasa tentu nggak instan. Bahasa adalah produk sejarah dan kebiasaan kolektif. Tapi bukan berarti kita nggak bisa mulai kritis, atau mendorong perubahan perlahan.

Mari kita lebih peka mendengarkan kata-kata kita sendiri. Kalau dunia yang kita inginkan adalah dunia yang setara dan kolaboratif, ya sudah saatnya kita pilih kata-kata yang membebaskan.

Untuk sekarang, fenomena ini bisa kita nikmati sebagai warna-warni komunikasi khas Indonesia. Tapi sambil tetap sadar: jangan sampai gaya bahasa bikin kita lupa bahwa semua manusia itu setara. Di rapat, di kantor, atau di daftar hadir yang baris pertamanya seharusnya nggak perlu dikosongkan.

Langsung saja. Tak perlu mohon izin.

Febryanto Silaban. Mantan wartawan, pemerhati bahasa, dan praktisi Public Relations di sektor privat. Ia merupakan alumni program S2 bidang kebijakan publik dari Universitas Indonesia.


Halaman:

Komentar