Digitalisasi Ibadah: Ketika Avatar Salat dan Pahala Dikonversi Jadi Poin

- Rabu, 19 November 2025 | 10:10 WIB
Digitalisasi Ibadah: Ketika Avatar Salat dan Pahala Dikonversi Jadi Poin

Pertanyaan mendasar muncul: akankah umat beragama menjadi lebih taat jika pahala dapat dimaterialisasi secara nyata? Serial Netflix "Tomorrow and I" yang tayang sejak Desember 2024 mengeksplorasi pertanyaan ini melalui episode "Buddha Data".

Episode tersebut menceritakan seorang biksu Buddha bernama Anek, mantan programer yang menghadapi dilema ketika aplikasi bernama ULTRA muncul. Aplikasi berbasis AI ini tidak hanya berisi ajaran agama, tetapi juga mencatat poin kebaikan yang dapat ditukarkan untuk kebutuhan praktis seperti membayar tagihan listrik.

Euforia pun menyebar. Warga kota menjadi keranjingan berbuat baik, namun dengan pertimbangan pragmatis: besaran poin yang akan diterima. Memberi makan orang biasa yang kelaparan menghasilkan poin lebih tinggi daripada memberi makan seorang biksu.

Respon Teknologi terhadap Problematika Teknologi

Anek merespons dengan menciptakan iBuddha, perangkat berisi salinan memori para biksu berikut ajarannya. Tujuannya mulia: mengoreksi kelemahan ULTRA dan membuat ajaran agama dapat diakses kapan saja.

Namun upaya ini gagal karena teknologi belum mampu memilah memori baik dan buruk dari para biksu. Masa lalu kelam para biksu yang seharusnya tersaring justru terbuka untuk diakses pengguna.

Masa Depan Keberagamaan Berbasis AI

Para ahli memprediksi agama berbasis AI akan membawa perubahan fundamental. Neil McArthur dalam tulisannya menyebutkan tiga karakteristik utama: pertama, manusia dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan setiap saat tanpa hierarki agama.

Kedua, para pengikut akan terhubung secara online untuk berbagi pengalaman dan mendiskusikan doktrin. Ketiga, keragaman chatbot dari produsen berbeda akan menghasilkan doktrin kebenaran yang sangat beragam.

Dampaknya dapat diprediksi: keragaman aplikasi berbasis AI dengan doktrin berbeda-beda berpotensi memicu perselisihan antar sekte. Agama yang seharusnya menjadi penuntun hidup baik justru berpotensi menyebabkan konflik.

Pertanyaan terakhir menggantung: akankah teknologi membawa keberagamaan pada esensinya, atau justru mereduksinya menjadi sekadar pemburu kepentingan pragmatis belaka?


Halaman:

Komentar