OLEH: YUSRIL TOATUBUN*
DALAM dinamika demokrasi modern, kritik terhadap kekuasaan merupakan salah satu elemen vital yang mencerminkan keberlangsungan dan kesehatan sistem demokrasi itu sendiri.
Kritik yang sehat berfungsi sebagai mekanisme checks and balances untuk memastikan bahwa pemerintah tetap berjalan sesuai amanat rakyat dan norma konstitusi.
Namun demikian, dalam masyarakat demokratis yang menjunjung tinggi supremasi hukum, kritik tersebut tidak boleh didasarkan pada emosi semata atau didorong oleh kepentingan politik jangka pendek.
Kritik haruslah berakar pada prinsip-prinsip hukum yang objektif, rasional, dan mematuhi koridor konstitusional yang telah disepakati bersama.
Belakangan ini, munculnya wacana pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menimbulkan keprihatinan mendalam. Wacana tersebut berkembang tanpa dasar hukum yang jelas dan kuat, bahkan cenderung didorong oleh narasi subjektif yang bersifat politis.
Jika kritik semacam ini terus dibiarkan berkembang tanpa kerangka hukum yang tegas, maka dikhawatirkan akan menciptakan budaya politik yang tidak sehat, yang pada gilirannya melemahkan demokrasi itu sendiri.
Maka dari itu, penting untuk menempatkan kritik pada proporsi yang benar, bukan untuk menghancurkan, melainkan
untuk memperbaiki dalam bingkai hukum dan konstitusi.
Gibran Rakabuming Raka terpilih sebagai Wakil Presiden bukan melalui proses yang serampangan atau penuh rekayasa, melainkan melalui mekanisme pemilihan umum yang sah,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 22E UUD 1945.
Pemilu adalah instrumen utama pelaksanaan kedaulatan rakyat, dan dalam sistem demokrasi, kehendak rakyat adalah hukum tertinggi.
Hasil pemilu yang telah diumumkan dan disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat diabaikan begitu saja hanya karena adanya ketidakpuasan dari sebagian kalangan.
Prinsip legalitas yang merupakan ruh dari negara hukum Indonesia (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa segala tindakan pemerintah dan setiap tindakan hukum harus
berlandaskan peraturan yang berlaku.
Dalam konteks ini, kemenangan Gibran sudah memiliki
dasar legitimasi hukum dan prosedural yang tidak bisa begitu saja dibatalkan tanpa adanya bukti pelanggaran konstitusional yang sah.
Tuduhan yang berkembang tidak mampu menunjukkan adanya pelanggaran terhadap Pasal 7A UUD 1945, yang menjadi syarat
konstitusional untuk memakzulkan seorang Presiden atau Wakil Presiden.
Desakan pemakzulan terhadap Gibran Rakabuming Raka yang digaungkan oleh sebagian kalangan, lebih mencerminkan kepentingan politik subjektif daripada aspirasi hukum yang
konstitusional.
Tuduhan yang diarahkan kepada Gibran lebih banyak berisi serangan personal mengenai kapasitas dan latar belakang pribadinya, yang sama sekali tidak memenuhi kriteria
Artikel Terkait
Masa Depan Inovasi Global: Mengapa Blokade Teknologi Justru Memicu Kemajuan Mandiri
Kronologi Lengkap Pria Tewas Tertabrak KRL di Kalibata: Diduga karena Telepon Saat Menyeberang
Balas Dendam Usai Dipecat, Mantan Karyawan Ekspedisi Curi dan Jual Mobil Boks L300
Warisan Pahit Kesultanan Melayu: Tuan di Sejarah, Tergusur di Tanah Leluhur