pelanggaran berat sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Demokrasi bukanlah panggung di mana preferensi dan rasa tidak suka personal menjadi dasar untuk menumbangkan seseorang yang telah memperoleh mandat rakyat secara sah.
Penggunaan instrumen pemakzulan sebagai alat politik merupakan tindakan berbahaya yang dapat membuka preseden keliru dalam praktik ketatanegaraan Indonesia.
Jika ketidaksukaan terhadap hasil pemilu dijadikan justifikasi untuk memaksakan pemakzulan, maka demokrasi
akan berubah menjadi arena kekuasaan yang diwarnai oleh intrik dan ketidakstabilan.
Dalam sejarah ketatanegaraan kita, pemakzulan adalah mekanisme yang sangat ekstrem, yang hanya dapat digunakan jika terdapat pelanggaran konstitusi yang nyata, bukan sebagai alat perlawanan terhadap kemenangan politik yang sah.
Menggunakan pemakzulan secara sembarangan bukan hanya mencederai legitimasi pemerintahan yang sah, tetapi juga mengancam stabilitas nasional.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Jimly Asshiddiqie, telah berulang kali mengingatkan bahwa pemakzulan adalah langkah terakhir (ultimum remedium) yang hanya dapat ditempuh dalam keadaan luar biasa ketika Presiden atau Wakil Presiden benar-benar melanggar hukum secara serius.
Mengubah pemakzulan menjadi alat politik akan menghancurkan pilar demokrasi dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara.
Kita perlu memahami bahwa politik yang sehat adalah politik yang mampu menerima kemenangan maupun kekalahan dengan lapang dada, seraya tetap mengutamakan supremasi
hukum dan stabilitas negara.
Ketika hukum dipelintir demi memuaskan ambisi politik sesaat, maka negara hukum bergeser menjadi negara kekuasaan. Ini adalah kondisi yang harus kita hindari bersama.
Mendukung legitimasi Gibran sebagai Wakil Presiden bukan berarti menolak kritik. Justru mendukung legitimasi yang sah adalah upaya menjaga agar demokrasi tetap berjalan dalam
rel yang benar dan hukum tetap tegak sebagai pilar utamanya.
Kritik harus tetap hidup dalam demokrasi, namun kritik tersebut harus diarahkan untuk memperkuat sistem, bukan
menghancurkannya.
Kritik yang sehat adalah kritik yang dilandasi oleh literasi hukum, etika politik, dan kesadaran konstitusional. Ketidaksukaan personal atau ketidakpuasan terhadap hasil pemilu harus disalurkan melalui mekanisme politik yang sah, seperti pemilu berikutnya atau melalui dialog publik yang konstruktif.
Demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang mampu
menoleransi perbedaan, namun tetap menjaga keutuhan dan supremasi hukumnya.
Sebagai penutup, penting ditegaskan bahwa Gibran Rakabuming Raka berhak atas posisinya sebagai Wakil Presiden berdasarkan mandat rakyat yang diperoleh melalui mekanisme yang sah dan konstitusional.
Tidak ada satupun dalil hukum yang secara valid bisa dijadikan dasar untuk memakzulkan Gibran dalam konteks saat ini. Oleh karena itu, segala bentuk ketidakpuasan seharusnya disikapi dengan cara yang santun, elegan, dan sesuai dengan aturan main demokrasi.
Marilah kita bersama-sama menjaga marwah konstitusi, menghormati hasil demokrasi, serta menegakkan keadaban hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di atas segala perbedaan politik, hukum harus tetap berdiri tegak sebagai pelita yang menerangi perjalanan demokrasi Indonesia menuju keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
*(Penulis adalah Ketua Umum Gibranku Maluku.)
Artikel Terkait
Gempa Dangkal Guncang Bandung, Enam Kali Getaran Terasa hingga Dini Hari
BGN Beberkan Fakta di Balik 41 Dapur Gratis Anak Politikus
Tembikar Gaza Bangkit: Warisan Budaya yang Tak Padam di Tengah Konflik
Bripda Fauzan Dipecat Polri: Kronologi Lengkap Kasus KDRT dan Sanksi Ganda