Teka-Teki Prabowo Melindungi Jokowi

- Rabu, 11 Juni 2025 | 12:55 WIB
Teka-Teki Prabowo Melindungi Jokowi


'Teka-Teki Prabowo Melindungi Jokowi'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Bagaimana Presiden Terpilih Prabowo Subianto menjelma jadi penjaga setia masa lalu politik yang dulu ia lawan. 


Di balik manuver perlindungannya, ada strategi kekuasaan dan kompromi yang belum selesai.


Setelah dua kali menjadi lawan dalam pemilihan presiden dan dua kali pula menelan kekalahan, Prabowo Subianto kini justru menjadi pelindung paling setia Joko Widodo. 


Ketika kritik terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta itu menguat, terutama soal dugaan penyimpangan kekuasaan selama dua periode pemerintahannya, Prabowo tampil pasang badan. 


Di hadapan publik, ia bahkan menyebut Jokowi sebagai “aset bangsa yang sangat berharga dan perlu terus diberdayakan.”


“Ada yang ingin menghapus jejak keberhasilan beliau,” ujar Prabowo dalam sebuah pertemuan tertutup dengan relawan Gibran, April lalu. 


“Tapi sejarah tidak bisa dibohongi.”


Pernyataan itu dilontarkan justru saat laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap kerugian negara dari proyek food estate sebesar Rp2,3 triliun pada 2023. 


Program yang digagas Jokowi dan dilaksanakan Kementerian Pertahanan di bawah Prabowo itu terbukti menyisakan lahan mangkrak di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, tanpa hasil yang menjanjikan. 


Namun, tak ada evaluasi. Tak ada investigasi lanjutan. Yang ada hanyalah diam.


Apa yang membuat Prabowo bersedia menjaga orang yang dulu ia tuduh sebagai perusak demokrasi?


Jawabannya mungkin bukan sekadar balas budi. Meski dukungan Jokowi terhadap pasangan Prabowo-Gibran tak pernah diucapkan secara eksplisit, semua orang tahu arah restu itu. 


Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi yang merangsek ke dunia politik lewat Partai Solidaritas Indonesia, menjadi sinyal awal bahwa keluarga Jokowi ingin tetap punya pengaruh usai sang ayah pensiun. 


Gibran Rakabuming Raka, yang secara kontroversial melenggang sebagai calon wakil presiden berkat putusan Mahkamah Konstitusi yang dibayangi konflik kepentingan, adalah kartu truf utamanya.


Dengan Gibran di sampingnya, Prabowo tidak hanya mengamankan suara pemilih muda dan loyalis Jokowi, tapi juga mewarisi jejaring kekuasaan yang dibangun Jokowi selama satu dekade: pengusaha, birokrasi, militer, dan relawan. 


Melindungi Jokowi berarti menjaga integritas jaringan itu agar tidak bubar sebelum waktu.


“Gibran adalah simbol kesinambungan. Tanpa dia, tak akan ada jaminan Jokowi tetap punya tempat di lingkar kekuasaan,” kata seorang analis politik senior dari LIPI yang enggan disebut namanya. 


“Dan Prabowo sadar, menghadapi periode pertama kekuasaan, dia lebih butuh stabilitas daripada kebenaran.”


Namun perlindungan ini bukan tanpa risiko. Dalam banyak kesempatan, publik menagih pertanggungjawaban atas sejumlah kebijakan kontroversial era Jokowi: pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menyedot anggaran lebih dari Rp466 triliun di tengah tekanan utang; melambatnya pertumbuhan ekonomi desa meski Dana Desa sudah digelontorkan hingga Rp539 triliun sejak 2015; serta angka ketimpangan yang stagnan meski Jokowi mengklaim telah “membangun dari pinggiran”.


“Kalau Prabowo terus-terusan melindungi kebijakan lama tanpa koreksi, ia sedang mempertaruhkan legitimasinya sendiri,” ujar Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia.


Anehnya, Prabowo justru memilih mendiamkan semua itu. 


Ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan merevisi kebijakan yang ditinggalkan pendahulunya, apalagi melakukan audit. 


Alih-alih melakukan koreksi, ia menyematkan pujian. 


Sejumlah menteri dari kabinet Jokowi juga dikabarkan akan tetap dipertahankan dalam formasi kabinet Prabowo-Gibran, termasuk figur-figur kontroversial seperti Bahlil Lahadalia dan Luhut Binsar Pandjaitan.


Apakah ini bagian dari kompromi politik?


Bisa jadi. Prabowo tengah meniti jalan yang rumit. Ia butuh stabilitas untuk lima tahun ke depan. 


Dengan ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan resistensi dari kelompok oposisi, menghajar Jokowi di awal masa jabatan justru akan menciptakan kegaduhan. 


Ia tampaknya memilih strategi low profile: menjinakkan semua pihak, mengulur waktu, dan menyusun ulang konstelasi kekuasaan secara perlahan.


Namun ada juga yang melihat sikap Prabowo sebagai bentuk politik hutang budi. Masuknya ia ke kabinet pada 2019 dianggap menyelamatkan karier politiknya. 


Dukungan Jokowi pada Pilpres 2024 membukakan kembali pintu istana yang selama ini hanya menjadi bayangannya. 


Kini, saat Jokowi pensiun, Prabowo seperti merasa punya tanggung jawab moral: menjaga warisan sang patron, apa pun bentuk dan isinya.


Masalahnya, politik bukan soal moral semata. Jika Prabowo terlalu sibuk melindungi masa lalu, ia bisa kehilangan kepercayaan masa depan. 


Legitimasi pemerintahan yang baru tentu tidak bisa dibangun hanya dengan bayang-bayang Jokowi. 


Prabowo harus menentukan, apakah ia ingin menjadi presiden yang mandiri, atau sekadar penerus yang setia menjaga warisan politik yang belum tentu diwariskan untuk rakyat.


Jika Prabowo terlalu banyak menengok ke belakang, bukan tidak mungkin ia akan kehilangan arah ke depan. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar