Mencari Jejak LBP: Chromebook Berdarah di Tengah Korupsi Rp9,9 Triliun

- Minggu, 01 Juni 2025 | 13:00 WIB
Mencari Jejak LBP: Chromebook Berdarah di Tengah Korupsi Rp9,9 Triliun

Berdasarkan laporan keuangan publik yang kami telusuri, Luhut memiliki 51% saham di perusahaan tersebut melalui jaringan bisnisnya.


“Bukan kebetulan. Zyrex dipilih, lalu tiba-tiba semua kebijakan teknis berubah, seolah disesuaikan untuk memenuhi spesifikasi Zyrex,” ujar seorang mantan pejabat pengadaan di Kemendikbud.


Salah satu modus yang dicurigai oleh penyidik adalah markup harga. 


Dalam pengadaan Chromebook itu, harga satu unit laptop disebut mencapai Rp9 juta, padahal harga pasar hanya sekitar Rp4-5 juta per unit. 


Bahkan menurut audit internal yang bocor ke media, ditemukan perbedaan spesifikasi antara dokumen kontrak dan produk yang diterima di lapangan.


Istana yang Diam

Hingga laporan ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Luhut maupun Nadiem. 


Keduanya bungkam. Staf khusus Presiden dan Mantan Mendiknas itu  hanya mengatakan, “Semua proses hukum harus kita hormati.” 


Namun keheningan itu semakin menegaskan kekhawatiran banyak kalangan: apakah penegakan hukum mampu menjangkau elit istana?


Sementara itu, di ruangan Kejaksaan Agung, para penyidik terus memeriksa dokumen-dokumen tender dari ratusan sekolah penerima bantuan. 


Beberapa kepala sekolah bahkan telah dimintai keterangan mengenai kualitas perangkat yang mereka terima. 


Mayoritas menyebut laptop tidak bisa digunakan karena butuh koneksi internet stabil dan fitur-fitur yang tidak sesuai kebutuhan belajar.


“Anak-anak kami jadi seperti korban. Laptop mahal, tapi hanya jadi pajangan,” ujar salah satu kepala sekolah di daerah pedalaman Nusa Tenggara Timur.


Sistem yang Bobrok

Kasus ini sekali lagi menunjukkan bagaimana proyek strategis nasional dapat menjadi bancakan segelintir elit politik dan pengusaha. 


Semangat transformasi digital berubah menjadi transaksi gelap, dan semangat pendidikan tergantikan oleh hasrat akumulasi.


Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, “Ini bukan sekadar kasus korupsi, tapi cermin dari sistem pemerintahan yang terlalu sentralistik dan nepotistik. Siapa pun dekat dengan kekuasaan, bisa menyentuh anggaran publik dengan mudah.”


Nadiem memang bukan politisi, tapi ia bagian dari kabinet. Luhut bukan pejabat Kemendikbud, tapi ia berada di jantung kekuasaan. Keduanya bukan sembarang nama. 


Dan justru karena itu, pertanyaan publik semakin besar: akankah kasus ini berujung seperti banyak kasus besar lainnya—sunyi senyap di tengah jalan? ***


Sumber: FusilatNews

Halaman:

Komentar