Oleh: Muhibbullah Azfa Manik"
Bantuan sosial seharusnya jadi penopang terakhir di tengah guncangan bencana, pandemi, dan ekonomi yang tak menentu. Tapi kenyataannya? Justru di momen-momen paling genting itulah ujian integritas negara kerap berakhir dengan kegagalan. Ironis, bukan?
Kalau kita jeli melihat, ada tiga wilayah yang paling jelas memperlihatkan keretakan ini: bansos, bantuan bencana, dan dana operasional jabatan. Di ketiganya, prinsip tata kelola yang baik atau Good Corporate Governance itu seperti jargon kosong belaka. Ia ada di seminar, tapi lenyap di lapangan. Di balik karung beras berlogo pemerintah, di dalam truk-truk logistik yang mengantri, hingga di dalam laporan penggunaan dana pejabat, yang bekerja seringkali bukan prinsip, melainkan kepentingan.
Bansos: Bantuan atau Alat Politik?
Anggaran bansos meledak sejak pandemi. Tapi, naiknya anggaran itu seperti diiringi naiknya dugaan penyimpangan. Potongan di sana-sini, kualitas yang dikurangi, atau aliran bantuan yang tiba-tiba berbelok ke kantung-kantung politik. Laporan dari berbagai LSM menunjukkan pola yang nyaris sama: paket sembako yang seharusnya untuk rakyat, malah dibalut stiker wajah calon tertentu. Di beberapa tempat, bansos baru bisa cair kalau warga mendaftar sebagai pendukung.
Permainannya juga bisa lebih halus, lewat manipulasi data. Basis Data Terpadu (BDT) yang seharusnya sakral, ternyata mudah diutak-atik. Nama fiktif muncul, keluarga pejabat masuk daftar, data ganda dibiarkan saja. Pengawasan? Secara administratif mungkin jalan, tapi di lapangan, ceritanya bisa lain sama sekali.
Padahal, dalam prinsip GCG, bansos harusnya memegang teguh transparansi dan keadilan. Dua hal itulah yang justru paling sulit ditemukan. Akuntabilitas diganti dengan formalitas belaka. Pemerintah bisa saja berkoar tentang pemerataan, tapi selama proses distribusi masih dikendalikan oleh kepentingan politik, maka kuasa akan selalu lebih menggoda daripada niat menolong.
Solusinya mungkin terdengar sederhana: copot tangan-tangan politik dari rantai bansos. Kelola bantuan secara teknokratis, dengan sistem digital, verifikasi ketat, dan audit real-time yang bisa diakses publik. Tapi, tanpa kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk melepaskan diri dari godaan elektoral, semua usulan reformasi ini cuma akan jadi catatan di atas kertas.
Logistik Bencana: Penderitaan yang Dieksploitasi
Dalam situasi bencana, waktu adalah nyawa. Tapi di Indonesia, seringkali yang datang lebih dulu justru berita tentang penyimpangan. Logistik datang telat, barangnya rusak di gudang, atau jumlahnya tak sesuai laporan. Ini cerita usang yang terus berulang.
Relawan di lapangan kerap menemukan karung beras yang sudah berkutu, mi instan kedaluwarsa, atau selimut yang jumlahnya tak sampai separuh dari yang tercatat. Di balik semua ini, ada mekanisme pengadaan yang gelap. Tender dikunci untuk rekanan tertentu, kualitas dikebiri biar marginnya gendut, distribusinya pun amburadul. Prinsip pertanggungjawaban dalam GCG diinjak-injak demi kepentingan bisnis segelintir orang.
Yang lebih memilukan, bantuan bencana sering dijadikan panggung pencitraan. Pejabat tiba-tiba muncul di depan kamera membagikan paket yang bukan dananya. Para pengungsi yang sedang berduka dijadikan latar belakang foto. Dalam situasi seperti ini, musibah seolah jadi komoditas, dan korban hanya jadi properti.
Artikel Terkait
Kalbar Siapkan Pidana Kerja Sosial, Pelaku Ringan Tak Lagi Masuk Sel
Hari Kedua Banjir, Tiga Kecamatan di Bandung Masih Terendam
Warga Batu Ampar Terjebak Rob, Jalan Penghubung Lumpuh Lagi
Tiga Menteri dan Pilihan Berat di Tengah Duka Sumatra