Bansos, Bencana, dan Dana Jabatan: Tiga Ujian yang Sering Gagal

- Sabtu, 06 Desember 2025 | 13:25 WIB
Bansos, Bencana, dan Dana Jabatan: Tiga Ujian yang Sering Gagal

Sebenarnya, perbaikan sistem bisa dimulai dari transparansi pengadaan. Harga satuan, spesifikasi barang, dan nama vendor harus terbuka untuk diakses publik. Setiap kiriman logistik perlu punya sistem pelacakan digital, mirip seperti paket kurir biasa. Tanpa transparansi dan teknologi, bantuan bencana akan tetap jadi lahan basah yang diperebutkan.

Dana Operasional: Celengan yang ‘Fleksibel’

Dana operasional jabatan mungkin adalah wilayah paling abu-abu. Dana yang mestinya untuk menunjang kerja, sering berubah jadi uang saku pribadi yang sulit dilacak. Karena sifatnya yang fleksibel dan pengawasannya longgar, dana ini jadi ujian moral bagi banyak pejabat.

Investigasi beberapa media menemukan pola yang miris. Dana ini dipakai untuk beli souvenir mewah, jamuan makan pribadi, jalan-jalan keluarga, sampai bagi-bagi amplop ‘teman lama’. Semuanya dilaporkan sebagai ‘biaya representasi’. Dalam logika tata kelola yang baik, dana seperti ini justru harus diawasi ketat. Tapi kenyataannya, fleksibilitasnya malah jadi pintu kebocoran. Banyak yang menganggapnya sebagai hak istimewa jabatan, bukan bagian dari tanggung jawab.

Pemerintah biasa beralasan bahwa pekerjaan pejabat butuh keluwesan. Tapi keluwesan bukanlah pembenaran untuk pemborosan atau penyalahgunaan. Negara-negara dengan tata kelola baik menerapkan batasan jelas, mewajibkan bukti fisik untuk setiap pengeluaran, dan mempublikasikan laporannya. Kalau kita serius dengan GCG, maka dana operasional ini harus jadi prioritas perbaikan.

Usul yang realistis? Tetapkan batas maksimal dan kategori penggunaan yang jelas. Misal, untuk transportasi dinas resmi, jamuan kerja yang bisa diverifikasi, dan acara representasi yang tercatat dalam agenda. Selain itu, tanggung sendiri. Dana ini juga harus jadi sasaran audit rutin BPK dan hasilnya diumumkan ke publik.

Retaknya Tata Kelola, Goyangnya Negara

Bansos, logistik bencana, dan dana operasional punya benang merah yang sama: tata kelola yang lemah. Transparansi diabaikan, akuntabilitas diabaikan, dan independensi dikalahkan oleh politik praktis. Pemerintah seolah punya dua wajah: satu bicara integritas di mimbar, satunya lagi menjaga bisnis seperti biasa.

Akibatnya? Rakyat kecil yang terus menerima getahnya. Yang miskin tak kebagian bansos, korban bencana menunggu bantuan yang tak pasti, sementara uang negara dipakai untuk gaya hidup pejabat. GCG bukan cuma soal prosedur, ia soal moral penyelenggara negara.

Di momentum seperti Hari Antikorupsi, pemerintah punya peluang untuk membuktikan diri. Memperbaiki tata kelola bukan lagi pilihan, tapi keharusan agar negara ini masih punya legitimasi di mata rakyatnya. Tanpa itu, semua bantuan hanyalah alat kekuasaan, dan jabatan publik cuma jadi ladang mencari untung.

Negara tidak boleh lagi menjadi pihak yang menyuburkan penyimpangan terutama melalui dana-dana yang seharusnya menjadi penyelamat di saat sulit. []

"Dosen Fakultas Teknik, Universitas Bung Hatta, Padang, Sumbar.


Halaman:

Komentar