Federalisme: Solusi atau Ilusi untuk Labirin Kekuasaan Indonesia?

- Jumat, 26 Desember 2025 | 11:25 WIB
Federalisme: Solusi atau Ilusi untuk Labirin Kekuasaan Indonesia?

Transisi Menuju Federasi: Bukan Perkara Mudah

Tentu, mengubah bentuk negara bukan hal sederhana. Agar transisi dari NKRI ke RIS tidak malah menciptakan kesenjangan baru, diperlukan kerangka yang jelas dan penuh tanggung jawab.

Salah satu metodenya adalah integrasi wilayah strategis. Daerah yang secara ekonomi kurang mampu, misalnya, bisa digabungkan dengan provinsi atau negara bagian yang lebih kaya. Tentu saja, ini harus berdasarkan analisis geofisika dan ekonomi yang matang, bukan sekadar kira-kira.

Di sisi lain, daerah minus juga bisa diinternasionalisasi. Pemerintah pusat bisa menetapkannya sebagai zona transaksi bisnis internasional, mirip Singapura. Tujuannya jelas: menarik investor besar agar daerah itu bisa mandiri secara finansial.

Yang tak kalah penting adalah solidaritas. Negara bagian yang sudah maju wajib memberikan subsidi silang atau bantuan pembangunan kepada daerah yang masih berkembang. Ini dalam kerangka persatuan, agar tidak ada yang tertinggal.

Penutup: Nasionalisme dalam Bingkai Baru

Mengubah Indonesia menjadi negara serikat bukanlah pengkhianatan. Bukan pula pelanggaran terhadap nilai ketuhanan atau nasionalisme.

Justru, secara teologis, upaya menciptakan sistem yang lebih adil adalah bentuk ibadah. Dan dalam bingkai Pancasila, RIS bisa jadi perwujudan nyata dari sila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" yang selama ini kerap hanya jadi narasi indah di atas kertas.

Catatan akhir saya begini. Miskinnya etika politik belakangan ini telah melahirkan istilah menyedihkan: "anak haram konstitusi". Itu cermin keresahan publik terhadap moralitas penyelenggara negara yang rusak. Dengan sistem RIS, syahwat politik di tingkat pusat mungkin bisa diredam. Sebab, setiap daerah punya kedaulatan untuk melindungi kepentingan rakyatnya sendiri.

Pada akhirnya, kegelisahan atas sistem sentralistik yang melahirkan dinasti dan ketimpangan harus dijawab. Saatnya kita berani memikirkan alternatif, dengan pikiran kritis, tapi tetap dalam koridor cinta negara. Dalam ruang demokrasi yang sejati, menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan adalah hak yang harus kita jaga.

") Penulis adalah Advokat, jurnalis, dan pakar ilmu peran serta masyarakat.


Halaman:

Komentar