Bendera Putih dan Suara Negatif
Busyro melihat, lambatnya respons pemerintah membuat aksi masyarakat seperti mengibarkan bendera putih hingga meminta bantuan internasional adalah hal yang wajar. Dia menyebut, suara-suara yang menolak bantuan luar negeri itu tidak berdasar kajian akademis yang bisa dipertanggungjawabkan.
Secara gamblang, Busyro menyoroti akar masalahnya. Menurutnya, bencana ini sangat berkaitan dengan politik pembangunan nasional dan lemahnya penegakan hukum. Kerusakan hutan di Sumatera bukan hal baru, dan pola serupa terulang di banyak daerah lain.
"Yang terjadi di Sumatera memiliki kesamaan dengan konflik agraria dan kerusakan lingkungan di sejumlah wilayah lain seperti di Rembang, Wadas, Morowali dan sebagainya," tegasnya.
Sementara itu, Rektor UMY Achmad Nurmandi menyebut kampusnya telah mengirim relawan dan bantuan ke tiga provinsi. Bahkan, 28 mahasiswa asal wilayah terdampak mendapat beasiswa dan pembebasan biaya kuliah.
"Dalam refleksi kampus, bencana itu tidak terlepas dari tangan-tangan manusia, khususnya terkait kebijakan pengelolaan sumber daya alam dalam satu-dua dekade lalu. Tiga provinsi itu memiliki SDA luas biasa berupa hutan dan pertambangan," katanya.
Karena ketidakhati-hatian dalam pengelolaan, lanjutnya, yang seharusnya jadi berkah justru berubah menjadi kutukan. Dan itu, menurutnya, sudah terbukti dari berbagai penelitian.
Artikel Terkait
Jogja Siaga Sampah, Lonjakan 40 Persen Mengintai Saat Nataru
Tilang Manual Ditiadakan, Polda DIY Andalkan ETLE Selama Nataru
Basarnas Yogyakarta Kerahkan 91 Personel untuk Kawal Libur Nataru
Pemerintah Didesak Segera Sahkan UU Etika untuk Akhiri Polemik Pejabat