Untungnya, dia nggak sendirian. Tawa dikelilingi oleh geng stand-up comedy yang karakternya unik-unik. Kehadiran mereka memberikan kehangatan dan persahabatan. Sekaligus, jadi cermin atas kegelisahan yang sebenarnya mereka alami bersama.
Hubungannya dengan sang ibu, Cantik (Marissa Anita), sendiri cukup kompleks. Penuh kasih sayang, tapi seringkali sulit diungkapkan. Kesalahpahaman dan jarak emosional bikin ibu dan anak ini terjebak dalam keheningan yang panjang.
Di sisi lain, hubungan dengan ayahnya, Keset (Teuku Rifnu Wikana), menyimpan luka lama yang tak kunjung kering. Setiap pertemuan memaksa Tawa berhadapan dengan rasa marah, kekecewaan, dan rasa kehilangan yang selama ini coba dia hindari.
Perjalanan emosional Tawa ini pada akhirnya memperlihatkan satu hal: luka masa kecil bisa terbawa sampai dewasa. Dan menertawakan luka itu, ternyata bukan cara untuk menghapus rasa sakitnya begitu saja.
Seiring waktu, Tawa mulai paham. Memaafkan itu prosesnya nggak instan. Dia harus punya nyali untuk membuka kembali pintu-pintu emosi yang selama ini dikuncinya rapat-rapat.
Pada intinya, Suka Duka Tawa menghadirkan kisah drama yang emosional tentang berdamai dengan masa lalu. Dinamika keluarga jadi porosnya, sementara tawa hadir secara alami sebagai bagian dari kehidupan yang pahit dan manis. Film ini mengajak penonton merasakan kehangatan, keharuan, dan proses tumbuh bersama luka-luka yang pernah ada.
Artikel Terkait
Rustam Effendi Klaim Foto di Ijazah Jokowi Palsu: Lihat Saja Mulut dan Kacamatanya
Bahlil Tegaskan Golkar Bukan Kendaraan Pribadi
Membongkar Kultur Diam: Ketika Kompromi Melahirkan Ketimpangan
Jogja Siaga Sampah, Lonjakan 40 Persen Mengintai Saat Nataru