Oleh: Engkos Kosasih
Program Indonesia Pintar, atau yang kita kenal sebagai PIP, punya tujuan mulia. Ia adalah perwujudan dari cita-cita konstitusi kita: mencerdaskan kehidupan bangsa. Lewat Kartu Indonesia Pintar (KIP), negara berikhtiar memutus lingkaran setan kemiskinan dengan memastikan anak-anak dari keluarga kurang mampu tetap bisa bersekolah. Kunci utamanya sederhana: bantuan harus tepat sasaran dan alokasinya adil.
Namun begitu, ada satu mekanisme yang justru mengundang tanya. Namanya PIP Aspirasi, di mana usulan penerimanya datang dari anggota DPR atau DPD. Secara hukum, jalur ini sah-sah saja. Tapi di lapangan, ia menciptakan paradoks yang pelik. Program bantuan sosial murni ini berisiko tinggi dibajak oleh kepentingan politik praktis.
Di sinilah masalahnya bermula. DPR punya tiga fungsi utama: membuat undang-undang, mengawasi anggaran, dan mengawasi kinerja pemerintah. Tapi dengan adanya PIP Aspirasi, fungsi pengawasan anggota Komisi X yang membidangi pendidikan ternyata bergeser. Mereka bukan lagi sekadar pengawas, melainkan ikut terjun langsung menentukan siapa yang dapat KIP di daerah pemilihannya. Bahkan, tak jarang mereka atau timnya yang membagikan kartu itu secara seremonial.
Padahal, seharusnya tugas mereka adalah memastikan Kementerian Pendidikan menjalankan PIP dengan data yang akurat, seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Lalu, siapa yang akan mengawasi kalau si pengawas malah jadi pelaksana? Ini jelas mengganggu prinsip check and balance. Akuntabilitas jadi kabur, ruang untuk manipulasi justru terbuka lebar.
Di sisi lain, praktik ini membawa dua masalah etika yang serius. Pertama, ia beraroma vote buying atau pembelian suara terselubung. Saat pembagian KIP dikemas dengan foto-foto caleg atau logo partai, bantuan dari APBN uang rakyat seolah-olah dianggap sebagai ‘jasa’ atau ‘hadiah’ sang politikus. Masyarakat pun secara psikologis merasa berutang budi atas hak yang sebenarnya sudah semestinya mereka dapatkan.
Kedua, ini soal penyalahgunaan wewenang. Anggota dewan tidak punya alat verifikasi yang memadai seperti DTKS. Keterlibatan mereka memungkinkan kolusi; yang diusulkan bisa jadi adalah kerabat, relasi politik, atau kelompok loyalis, meski secara ekonomi sebenarnya tidak layak. Akibatnya, keluarga miskin yang benar-benar membutuhkan justru terabaikan karena tak punya koneksi.
Menurut sejumlah pengamat, dampaknya sudah sistemik. Tujuan awal kesejahteraan jadi terkikis. PIP yang mestinya berdasarkan kebutuhan, berubah jadi berdasarkan dukungan politik. Masyarakat di daerah pun mulai memandang akses pendidikan sebagai sesuatu yang bisa ditawar, bukan hak mutlak. Kepercayaan pada negara yang netral dan adil pun perlahan tergerus.
Artikel Terkait
Indonesia Kutuk Keras Penembakan Brutal di Bondi, Soroti Izin Senjata Legal Pelaku
Kagama App Resmi Diluncurkan, Wadah Digital Alumni UGM Kian Guyub
Sudirman Said Soroti Beban Gubernur Aceh: Jangan Biarkan Mualem Berjuang Sendiri
Aceh Ambil Jalan Sendiri, Minta Bantuan Langsung ke UNDP dan UNICEF