Langit di atas Pesisir Barat Sumatera masih kelabu. Suasana muram itu seolah memantulkan kesedihan tanah yang baru saja luluh lantak diguncang gempa. Di antara reruntuhan, seorang jurnalis sebut saja Agus mengencangkan tali tas ranselnya. Isinya bukan sembako atau air minum. Tapi kamera, buku catatan yang sudutnya sudah lembap, dan sebuah telepon satelit. Misi dia sederhana: meliput kedatangan bantuan kemanusiaan internasional di sebuah posko terpencil.
Tapi langkahnya terpaku. Siluet seragam hijau menghadang.
Bukan untuk menolong atau memberi arahan. Suara yang keluar justru sebuah peringatan bernada datar, namun terasa mengancam.
"Tidak usah lipat yang dari luar negeri. Fokus pada bantuan pemerintah saja," ucap seorang anggota TNI, menurut pengakuan Agus. Kameranya diperiksa, beberapa foto dihapus paksa. Peristiwa tanggal 17 Desember 2025 itu, rupanya, bukan cerita sendirian. Ia seperti keping pertama dari sebuah pola yang lebih besar.
Hampir berbarengan, di ruang redaksi detik.com, suasana tegang. Bukan debat biasa, melainkan perintah untuk menghapus. Puluhan artikel seputar bencana Sumatera lenyap begitu saja dari arsip salah satu portal berita terbesar di negeri ini. Raib tanpa jejak, tanpa klarifikasi. Seolah-olah malapetaka yang menewaskan ratusan dan mengusir puluhan ribu orang itu tak pernah ada.
Lalu, giliran televisi. CNN Indonesia TV, yang sebelumnya masih menayangkan siaran langsung penuh debu dan kepiluan, tiba-tiba berubah haluan. Siaran langsung dari lokasi bencana dihentikan. Narasinya bergeser ke pernyataan-pernyataan resmi yang terdengar rapi. Sebuah sumber internal menyebutnya sebagai "praktik sensor diri", sebuah respons atas tekanan yang tak terucap namun terasa sangat nyata.
Trilogi pembatasan inilah yang kemudian dirangkum oleh Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) dalam rilis persnya tanggal 19 Desember. Polanya, menurut mereka, "jelas dan berbahaya".
Hak yang Terinjak, Aturan yang Dicuekin
Yang terjadi di Sumatera ini bukan cuma soal kesalahan teknis. Ini pelanggaran berlapis.
Lapisan pertama menyasar profesi. Intimidasi terhadap jurnalis macam yang dialami Agus adalah serangan langsung pada kemerdekaan pers. Padahal, dalam UU Pers, negara justru wajib memberi perlindungan hukum. Menghalang-halangi kerja jurnalis bahkan bisa kena pidana.
Artikel Terkait
Jade Wine Divine Spring: Konflik Abadi yang Diuji oleh Sebuah Hati yang Tak Bernoda
Tragedi di Srimulyo: Istri Hantam Suami Pakai Tabung Gas, Keluarga Pilih Maaf
Sorotan Empati: Kepala BGN Main Golf Saat Sumatera Dilanda Bencana
Jelang Nataru 2025, 2,9 Juta Kendaraan Diprediksi Serbu Jalur Mudik