Bandara Hantu Morowali: Pintu Belakang yang Menggerogoti Kedaulatan

- Jumat, 19 Desember 2025 | 06:00 WIB
Bandara Hantu Morowali: Pintu Belakang yang Menggerogoti Kedaulatan

"Nah, di Morowali, celahnya ada di jenis visa. Banyak tenaga kerja asing masuk pakai Visa Kunjungan, bukan izin kerja resmi. Coba bayangkan, kalau lewat bandara biasa, petugas bakal heran: Sir, you want holiday? Why you bring helm proyek?"

Rendi terkekeh sinis.

"Tapi di bandara khusus, pengawasannya minim. Mereka masuk, kerja, terima gaji dolar, tapi status pajaknya 'turis'. Negara jelas dirugikan miliaran. Ini bukan Rechtsstaat (Negara Hukum), tapi Rechts-sulap."

Masuk ke soal kargo, penjelasannya makin runyam. Secara logika, barang masuk adalah alat produksi. Bebas bea? Mungkin, lewat fasilitas tertentu.

"Tapi siapa yang jamin isi kontainer cuma mesin? Bisa saja di dalamnya ada elektronik mewah, atau yang lebih parah. Pengawasan di pos terpencil sering cuma mengandalkan dokumen manifest. Kalau di kertasnya tertulis 'Baut', ya dianggap baut. Padahal, bisa jadi itu singkatan dari Barang Antik Untung Tinggi," ujarnya.

Tegas Tapi Elegan: Mencari Jalan Tengah

Saya lalu bertanya, "Kalau kita bertindak keras, nanti investor kabur. Hubungan bilateral bisa rusak. Bagaimana caranya?"

Rendi tersenyum, kali ini seperti seorang ahli strategi.

"Investasi butuh kepastian. Investor nakal muncul karena kita memberi ruang. Negara asal mereka sebenarnya patuh hukum kalau sistemnya kuat. Jadi, jangan usir investornya. Perbaiki saja pagar rumah kita."

Dia lalu menguraikan tiga langkah konkret.

Pertama, soal digitalisasi tanpa kompromi. "Jangan andalkan orang mengawasi orang, pasti ada celah. Pakai sistem terintegrasi yang langsung terhubung ke server pusat. CCTV harus online 24 jam. Kalau kamera mati lima menit saja, izin pendaratan otomatis dibekukan. Ini standar internasional, investor paham."

Kedua, audit gabungan berkala. "Bentuk tim khusus dari berbagai kementerian. Lakukan sidak mendadak. Jika ada pelanggaran, beri denda progresif yang besar. Korporasi paham bahasa biaya. Kalau ongkos 'curang' lebih mahal, mereka akan memilih patuh."

Ketiga, diplomasi kedaulatan data. "Pemerintah harus tegas bilang ke negara sahabat: kami hormati investasi Anda, tapi hormati juga kedaulatan kami. Tempatkan petugas negara dengan fasilitas negara, bukan fasilitas perusahaan. Jangan biarkan aparat kita hidup dari katering perusahaan itu konflik kepentingan yang telanjang. Negara harus mendanai pos yang berwibawa."

Bandara di Morowali adalah simbol kemajuan, itu tak bisa dipungkiri. Tapi jika dibiarkan menjadi 'negara dalam negara' dengan aturan sendiri, maka kedaulatan kita perlahan digadaikan di atas landasan pacu.

Solusinya bukan menutup bandara. Tapi menyalakan lampu sorot se-terang-terangnya. Karena hantu dan segala permainan gelap paling takut pada cahaya transparansi.


Halaman:

Komentar