Gegap gempita dunia modern tak bisa disangkal lagi. Tapi, di tengah semua itu, ada satu persoalan pelik yang dihadapi banyak perempuan Muslim masa kini. Ini bukan soal kurang pintar atau kurang mampu. Justru, mereka umumnya terdidik, cakap, dan aktif berkarya di ruang publik. Masalahnya lebih dalam dari itu: sebuah krisis identitas yang sunyi. Banyak yang seakan kehilangan arah, bertanya-tanya tentang siapa dirinya sebenarnya dan untuk apa perannya di tengah kehidupan yang serba cepat ini. Pada intinya, ini adalah krisis paradigma.
Di sisi lain, modernitas datang dengan janji-janjinya. Kebebasan, kesetaraan, pencapaian pribadi semua itu dijual sebagai tolok ukur nilai seorang perempuan. Narasi ini kemudian diperkuat oleh gerakan feminisme sekuler yang kerap meminggirkan fitrah, mengaburkan peran keibuan, dan mengangkat kebebasan mutlak sebagai simbol tertinggi. Akibatnya? Tak sedikit Muslimah yang terbelah. Ada konflik batin antara tuntutan zaman dan suara hati yang rindu pada ketenangan, makna, serta keberkahan hidup yang lebih hakiki.
Yang ironis, respons terhadap kegelisahan ini seringkali meleset. Ketika seorang perempuan merasa lelah, gelisah, dan terasing dari dirinya sendiri, solusi instan yang biasa ditawarkan adalah ikut pelatihan keterampilan, mengejar karier lebih tinggi, atau sekadar dukungan psikologis permukaan. Padahal, akar persoalannya mungkin bukan terletak pada skill yang kurang. Bisa jadi, pijakan nilainya yang sudah goyah.
Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini? Dalam perspektif ini, identitas bukanlah sesuatu yang dibentuk oleh tren sosial semata. Ia adalah konsekuensi logis dari aqidah yang dipegang teguh. Seorang Muslimah memaknai dirinya sebagai hamba Allah, penjaga amanah kehidupan, sekaligus bagian penting dari sebuah peradaban. Aqidah inilah yang menjadi kompas membentuk cara berpikir, bersikap, dan menentukan ke mana hidup akan diarahkan. Nah, ketika pembinaan aqidah ini tergerus, identitas pun mudah sekali terombang-ambing. Diterpa arus kapitalisme, dibentuk oleh media digital, atau dirayu oleh narasi feminisme liberal.
Di sinilah kita perlu menengok kembali sirah Nabawiyah. Ia bukan cuma kisah usang. Lebih dari itu, ia adalah peta peradaban yang hidup. Melalui sirah, kita bisa menyaksikan langsung bagaimana Rasulullah Saw. membina para shahabiyah. Hasilnya? Perempuan-perempuan beriman yang utuh: kokoh aqidahnya, luhur akhlaknya, teguh dalam peran keluarga, namun tetap produktif memberi kontribusi untuk masyarakat sekitar.
Ambil contoh Khadijah binti Khuwailid. Ia bukan sekadar istri Nabi, tapi penopang dakwah yang paling setia di masa-masa awal.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pun bukan cuma dikenal sebagai istri muda. Ia adalah guru peradaban, sumber ilmu yang sangat diperhitungkan.
Lalu ada Nusaibah binti Ka‘ab, yang kehadirannya di medan jihad penuh dengan keberanian dan kehormatan.
Artikel Terkait
Damkar Jakut Evakuasi Bocah yang Terjepit Ritsleting Celana
Ledakan di Perbatasan Kamboja dan Tren Menurunnya Judol di Indonesia: Kaitan yang Mengundang Tanya
KN Pulau Dana Angkut 92 Ton Bantuan untuk Korban Banjir Aceh
Semarak Kupluk Natal dan Sinterklas Warnai Pembagian Ratusan Piring Kasih di Bongsari