Pendidikan Terkatung-Katung: 300 Ribu Anak Sumatra Terancam Putus Sekolah Pasca-Bencana

- Kamis, 18 Desember 2025 | 14:25 WIB
Pendidikan Terkatung-Katung: 300 Ribu Anak Sumatra Terancam Putus Sekolah Pasca-Bencana

Ratusan ribu anak di Sumatra kini terancam kehilangan masa depannya. Bukan hanya rumah dan jalan yang hancur diterjang banjir dan longsor, tapi juga bangku-bangku sekolah mereka. Pendidikan, yang mestinya jadi prioritas, justru paling rentan ketika bencana melanda.

Angkanya sungguh memilukan. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, melaporkan lebih dari 3.200 sekolah rusak. Ribuan ruang kelas hancur total atau sebagian. Yang paling menyayat, hampir 300 ribu siswa dan puluhan ribu guru terdampak langsung. Data ini dikumpulkan dari dinas pendidikan setempat per pertengahan Desember 2025.

Namun begitu, realitas pahit di lapangan ini seolah berbenturan dengan pernyataan resmi.

Beberapa waktu lalu, usai mengunjungi lokasi bencana, Presiden Prabowo Subianto menyatakan kondisi di Aceh dan Sumatera Utara sudah baik dan terkendali.

Pernyataan itu menimbulkan tanda tanya besar. Di sisi lain, pemulihan sarana pendidikan justru terasa lambat sekali. Hak anak untuk belajar seakan ditunda, padahal waktu terus berjalan dan tahun ajaran tidak berhenti. Penanganannya terkesan tak sistematis.

Ari Hardianto dari Seknas JPPI angkat bicara. Ia menekankan bahwa pendidikan adalah hak dasar yang pemulihannya harus dipimpin langsung oleh pemerintah pusat.

"Kondisi ini sudah masuk kategori darurat pendidikan," tegasnya. Menurut Ari, skala kerusakan di tiga provinsi itu terlalu besar untuk ditangani daerah sendiri. Ia mendesak agar status bencana nasional segera ditetapkan. Tanpa itu, upaya pemulihan pendidikan tak akan optimal dan risiko putus sekolah makin nyata.

Fakta di lapangan memang mengkhawatirkan. Langkah cepat dan terkoordinasi dari pemerintah pusat seolah tak kunjung tampak. Justru, yang lebih dulu bergerak adalah relawan, NGO, dan kelompok masyarakat. Negara mestinya hadir paling depan, bukan malah terkesan menunggu.

Wacana pendidikan darurat pun gaungnya masih minim. Yang dibutuhkan anak-anak sebenarnya konkret: ruang belajar yang aman, guru yang tersedia, dan kepastian bahwa biaya pendidikan mereka terjamin. Bagi mahasiswa, misalnya, pembebasan UKT bisa jadi penolong.


Halaman:

Komentar