Di Balik Pintu Rumah, Saat Diri Sendiri Harus Bersembunyi

- Minggu, 14 Desember 2025 | 08:06 WIB
Di Balik Pintu Rumah, Saat Diri Sendiri Harus Bersembunyi

Pernah nggak sih, kamu pulang ke rumah malah merasa lebih capek daripada seharian kerja atau kumpul sama teman? Capeknya bukan fisik, tapi lebih ke mental. Harus terus-terusan jadi versi diri yang diharapkan keluarga. Di rumah, kamu harus jadi anak yang penurut, kakak yang selalu bijak, sosok yang punya jawaban pas untuk segala masalah. Tapi begitu keluar dari pintu itu, rasanya lega. Bisa bernapas. Bisa jadi diri sendiri, tanpa beban.

Padahal, kan, rumah mestinya tempat paling nyaman untuk kita bersikap apa adanya. Ironisnya, justru di sanalah kita kerap merasa paling sulit untuk jujur. Orang di luar sana memang punya ekspektasi, tapi ekspektasi keluarga wah, itu levelnya berbeda. Bisa jauh lebih tinggi dan lebih personal.

Terjebak dalam Harapan yang Sudah Lama

Keluarga itu mengenal kita dari awal. Mereka tahu semua sejarah kita: kegagalan masa kecil, kesalahan remaja, janji-janji yang cuma jadi angin lalu. Makanya, ketika kita berusaha berubah atau menunjukkan sisi baru, mereka sering kali masih memandang kita dengan lensa yang lama. Pola pikirnya sudah terbentuk bertahun-tahun.

Nah, setiap keluarga punya standar tak tertulis. Standar tentang anak yang baik, saudara yang ideal, dan gambaran keluarga harmonis. Standar itu seperti udara tidak kelihatan, tapi selalu terasa.

Dan ketika kita melenceng sedikit saja, tanpa sadar mereka akan mengingatkan. "Dulu kamu nggak pernah kayak gini," atau "Lihat tuh, adikmu lebih nurut." Ada juga kalimat klasik, "Di keluarga kita, nggak ada yang biasa begitu."

Ucapan-ucapan seperti itu, sekecil apa pun, bikin kita mengkerut. Yang kita mau sebenarnya cuma sedikit ruang. Ruang untuk mencoba hal baru, untuk boleh gagal, dan untuk menemukan jati diri tanpa dihakimi setiap saat.

Rasa Takut yang Lebih Besar

Jujur saja, banyak dari kita lebih takut mengecewakan orang tua daripada mengecewakan diri sendiri. Coba bayangkan pilihannya: bikin orang tua senang tapi hati sendiri sedih, atau sebaliknya. Banyak yang memilih opsi pertama. Saya lihat ini terjadi di sekitar saya.

Ini bukan soal keluarga kita tidak baik. Justru sebaliknya. Karena rasa sayang mereka begitu besar, kepeduliannya pun ikut besar. Mereka ingin yang terbaik untuk kita. Masalahnya, 'yang terbaik' versi mereka kerap berbeda dengan versi kita sendiri. Di situlah gesekan muncul.

Lama-lama, kita mulai percaya bahwa jika tidak memenuhi harapan mereka, kita jadi tidak layak dapat kasih sayang. Akhirnya, demi rasa aman itu, kita pun terus memainkan peran yang bukan diri kita. Kita tahu ini tidak sehat, tapi rasa takut itu kuat sekali.


Halaman:

Komentar