Kejujuran yang Berisiko
Kita selalu diajari bahwa keluarga adalah tempat ternyaman untuk berbagi cerita dan kerentanan. Tapi realitanya? Coba saja ceritakan sebuah kegagalan jujur kepada orang tua. Bisa-bisa di kemudian hari, cerita itu berbalik jadi senjata. "Nah, kan, ibu sudah bilang dari dulu!"
Atau saat kita coba ungkapkan bahwa kita sedang tidak baik-baik saja secara mental. Responnya bisa jadi justru pengawasan berlebihan, atau malah anggapan bahwa kita cari perhatian. Alhasil, kejujuran di rumah jadi terasa berisiko. Ada hal-hal yang justru lebih mudah diceritakan ke teman, bahkan ke orang yang baru dikenal.
Lucu, ya? Tempat yang seharusnya paling aman, justru bisa terasa paling rentan.
Mencari Kembali Makna 'Rumah'
Saya sama sekali tidak mengatakan keluarga kita buruk. Mereka berusaha dengan cara dan pengetahuan yang mereka miliki. Hanya saja, karena beban ekspektasi, sejarah panjang, dan cinta yang kadang terlalu mengekang, jadi diri sendiri di sana itu sulit.
Lalu, bagaimana solusinya? Bagaimana tetap menyayangi mereka tanpa mengorbankan jati diri?
Mungkin kuncinya ada pada keberanian. Keberanian untuk perlahan-lahan jujur, meski tahu reaksi mereka mungkin tidak seperti yang kita harapkan.
Mungkin juga dengan mulai menerima bahwa kita tidak harus memenuhi semua harapan mereka untuk jadi anak yang baik. Dan di sisi lain, keluarga pun perlu belajar. Belajar melihat kita bukan sebagai proyeksi impian mereka, melainkan sebagai individu yang utuh.
Pada akhirnya, keluarga sejati adalah rumah. Dan di rumah yang baik, setiap orang berhak untuk menjadi dirinya sendiri. Jika cinta itu tulus, penerimaan akan mengikutinya.
Artikel Terkait
Manado Keluhkan Antrean Panjang BBM Subsidi Jelang Natal 2025
Fosil Homo Erectus Manusia Jawa Akhirnya Pulang Setelah 135 Tahun di Belanda
Mahasiswa Terjerat Budaya Sibuk: Perlukah Kita Berhenti Mengejar Produktivitas Tanpa Henti?
Ngopi dan Gorengan Disorot, Denny Sindir Logika Deforestasi Hasan Nasbi