Kabut pagi masih menggantung di atas rawa Blandin Kakayo ketika Vincen Kwipalo menyusun kembali dokumen-dokumen dalam tas lamanya. Suara burung dari hutan sagu yang tersisa menjadi latar yang mungkin tak akan abadi. Hari itu, Rabu 10 Desember 2025, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia sedunia. Dan Vincen bersiap kembali ke Jakarta. Tujuannya cuma satu: menuntut keadilan untuk tanah leluhurnya yang kini tertutup hamparan tebu, gula, serta janji lumbung pangan nasional yang terasa getir.
Dia bukan pengacara. Vincen adalah pimpinan marga Kwipalo dari suku Yei, penjaga warisan yang kian tergerus derap traktor dan kebijakan. Surat dari Ketua Komnas HAM tanggal 7 November lalu, yang menyematkan gelar “Pembela HAM” padanya, bukan sekadar penghargaan. Itu lebih seperti pengakuan atas perlawanan sunyi yang akhirnya mendapat nama sebuah bukti bahwa luka di Papua mulai terdengar.
Cerita di Balik Angka
Kisah Vincen bukanlah cerita tunggal. Dia cuma satu bab dari narasi besar bencana ekologi yang sedang melanda Nusantara. Di awal Desember 2025, sebuah laporan membeberkan peta duka yang lebih luas. Di Sumatera, 921 nyawa melayang dan 192 orang hilang, ribuan lainnya terluka. Bencana ini bukan sekadar musibah alam belaka. Ia adalah buah dari pengabaian hak hidup, hak atas lingkungan sehat, dan ketidakadilan yang sudah mengakar.
Lalu pandangan beralih ke timur. Ke Papua, di mana hutan alam berdegup pelan lalu diam. Mereka dikorbankan untuk proyek-proyek ekonomi ekstraktif: tambang, pembalakan, perkebunan skala besar. Data hingga 2025 menunjukkan transformasi paksa di Merauke. Sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) bertajuk lumbung pangan dan energi, merangkul lahan seluas 25.696 hektar.
Angka besar itu terbagi di antara tiga nama. PT Global Papua Abadi menguasai 13.151 hektar. PT Murni Nusantara Mandiri 6.633 hektar. Serta Jhonlin Group seluas 5.912 hektar. Mereka adalah mesin raksasa yang mengubah tanah adat menjadi monokultur tebu dan pabrik bioetanol. Proyek negara-korporasi ini, seperti sering terjadi, berjalan dengan pengawalan militer. Menurut catatan aktivis, semuanya berlangsung di wilayah adat. Semuanya menggerus kehidupan masyarakat Papua. Semuanya merusak lingkungan hidup.
Gugatan dari Marga
PT Murni Nusantara Mandiri, yang menguasai 6.633 hektar itu, kini menjadi sasaran gugatan Vincen Kwipalo di Markas Besar Polri. Dugaanannya jelas: tindak pidana lingkungan hidup dan penyerobotan tanah adat. Ini bukan langkah pertama, dan tampaknya bukan yang terakhir.
Artikel Terkait
Dari Pesantren ke Kampus: Sebuah Perjalanan Mencari Arah di Tengah Godaan Dunia
Wakil Wali Kota dan Ketua Fraksi DPRD Bandung Tersandung Kasus Proyek Fiktif
Kepala BNPB Turun Langsung, Janjikan Bantuan Besar untuk Korban Banjir Aceh Tamiang
Gus Yahya Bantah Sahnya Rapat Pleno yang Tunjuk Pj Ketum PBNU