Pulau "Emas" yang Dikuasai Kaum Kleptokrasi
Oleh Jimmy H Siahaan
Sumatra tak selalu disebut dengan nama itu. Dahulu kala, para penjelajah dari India menjulukinya Svarṇadvīpa Pulau Emas. Sebutan itu muncul bukan tanpa alasan, melainkan karena kekayaan endapan emas di dataran tingginya. Nama "Sumatra" sendiri baru muncul dalam catatan sejarah sekitar tahun 1017, dari seorang raja lokal bernama Haji Sumatrabhumi.
Namun begitu, cerita tentang pulau ini memang berlapis-lapis. Para ahli geografi Arab di abad ke-10 sampai 13 mengenalnya sebagai Lamri. Ada juga yang menyebut Andalas atau Pulau Percha. Bahkan, ada yang meyakini kisah Suwarnadwipa dalam Epos Ramayana merujuk ke sini. Marco Polo, si penjelajah legendaris dari Italia, menyebutnya Samara di akhir abad ke-13.
Kini, warisan "emas" itu terasa seperti metafora pahit. Sumatra, dengan segala kekayaan hayatinya, sedang sekarat. Dalam lima puluh tahun terakhir, hampir separuh hutan hujannya yang tropis itu telah raib. Nasib harimau, gajah, badak, dan orangutan Sumatra pun tergantung di ujung tanduk. Kabut asap tahunan jadi bukti nyata deritanya, meracuni udara hingga ke negeri jiran.
Banyak akademisi menyebut kehancuran sistematis ini dengan satu kata keras: ekosida.
Dan angkanya semakin mengerikan. Baru-baru ini, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni membuka data deforestasi di hadapan Komisi IV DPR. Meski tahun 2025 belum berakhir, laju penggundulan hutan sudah naik 28% dibandingkan 2020. Angkanya mencapai 166.450 hektare per September.
“Saya ingin menyampaikan laporan umum tentang kondisi deforestasi hutan kita,” ujar Raja Juli dalam rapat itu.
Yang paling memprihatinkan adalah apa yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Tiga wilayah yang belakangan dilanda bencana longsor dan banjir bandang ini justru menunjukkan grafik deforestasi yang melonjak eksponensial.
Di Aceh, dari hanya 1.918 hektare pada 2020, lahan gundul membengkak menjadi 10.100 hektare di 2025. Sebuah peningkatan yang fantastis, lebih dari 426%. Meski Menteri menyebut ada penurunan 10% dari tahun sebelumnya, angka dasarnya tetap sangat besar.
“Di Aceh menurun sebesar 10,04%,” katanya.
Kondisi di Sumatra Utara tak kalah mencemaskan. Dalam lima tahun, lahan gundul di sana meluas hampir 400%, dari 1.233 hektare menjadi 6.142 hektare. Secara nasional, kita sudah kehilangan jutaan hektare hutan sejak 1990. Fakta ini sulit dibantah.
Lalu, apa penyebab bencana yang melanda itu? Alam atau ulah manusia?
Profesor Bambang Hero Saharjo, Guru Besar IPB, punya pandangan jelas. Saat meninjau lokasi bencana, ia menemukan tumpukan kayu gelondongan. Itu, menurutnya, adalah indikasi kuat aktivitas manusia. Bukan sekadar kayu lapuk atau runtuhan alamiah.
Artikel Terkait
Israel Langgar Batas: Kompleks PBB di Sheikh Jarrah Diterobos
Kapolres Tuban Dicopot, Diduga Dalangi Setoran Paksa dan Potong Anggaran
Prabowo Terkesan, Sambutan Pakistan Luar Biasa Sejak di Udara
Suami di Kalbar Bacok Istri di Kebun Usai Cekcok, Pelaku Serahkan Diri