Pesan tersembunyi di balik setiap kritik sebenarnya sederhana: keinginan agar negeri ini jadi lebih baik. Seorang pemimpin yang berani akan menangkap pesan itu, tanpa terbebani rasa tersinggung. Ia akan mengolahnya jadi strategi, memperbaikinya menjadi program nyata yang manfaatnya bisa dirasakan rakyat.
Jadi, tak ada gunanya takut pada mereka yang mengingatkan. Rakyat yang kritis itu bukan badai. Mereka lebih seperti angin yang mengarahkan layar, agar kapal negara tidak tersesat di lautan ketidakpastian. Mereka memaksa pemimpin untuk tetap waspada, rendah hati, dan berpijak pada realita. Tujuannya satu: menjaga.
Begitu seorang pemimpin menyadari bahwa kritik adalah bagian sah dari demokrasi, posisinya justru akan semakin kokoh. Ia paham bahwa kehadirannya bukan untuk disanjung tanpa henti, melainkan untuk diuji. Ujian itulah bukan pujian yang membedakan penguasa biasa dari negarawan sejati.
Pada akhirnya, yang kita butuhkan adalah pemimpin yang punya nyali. Bukan cuma berani mengambil keputusan berat, tapi juga berani mendengarkan. Berani menghadapi ketidaksepahaman. Bahkan, berani tersenyum saat dikritik habis-habisan. Pemimpin macam inilah yang benar-benar mengabdi, bukan sekadar haus pujian. Dan bawahan pun tak akan terjebak dalam budaya ABS, Asal Bapak Senang.
Ketika seorang pemimpin akhirnya berdamai dengan kritik, segalanya berubah. Kritik tak lagi dilihat sebagai ancaman yang menakutkan, melainkan seperti cahaya kecil yang membantu menerangi jalan. Jalan panjang menuju kemajuan, keadilan, dan kebijaksanaan untuk sebuah bangsa yang bermartabat.
Itulah pemimpin yang dicintai rakyatnya. Dan pemimpin seperti itu, tak pernah punya alasan untuk takut.
Tabik.
ED/jaksat-AHMR
Artikel Terkait
Jurnalis Australia Robert Martin Resmi Syahadat Setelah Perjuangkan Palestina
Misteri Guru di Bogor: Tangan Terikat, Mayat Terbungkus Plastik Biru
Saat Kunci Gudang Obat Hilang, JK Beri Perintah Singkat: Tembak Gemboknya!
Kain Suci Kabah Tiba di Damaskus, Jawab Misteri Kotak Hijau di Masjid Umayyah