Mundur dengan Harga Diri: Mungkinkah di Tengah Duka Sumatra?

- Sabtu, 06 Desember 2025 | 14:50 WIB
Mundur dengan Harga Diri: Mungkinkah di Tengah Duka Sumatra?

Mundur dengan Elegan? Mustahil Rasanya...

Suasana di Sumatra masih muram. Pasca bencana tanah longsor dan banjir bandang, pertanyaan besar justru mengudara di Jakarta: akankah ada menteri yang bertanggung jawab memilih mundur? Jawaban singkatnya, menurut banyak pengamat, hampir mustahil. Tapi setidaknya, tiga nama terus disebut-sebut.

Pertama, tentu saja Raja Juli Antoni. Dia yang punya kewenangan penuh soal perizinan dan pengawasan kehutanan. Lalu ada Bahlil Lahadalia di kursi Menteri ESDM, yang mengurusi izin tambang dan pemanfaatan kawasan hutan. Tak ketinggalan, Hanif Faisol dari Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penerbit izin AMDAL. Ketiganya berada di garis depan dalam polemik ini.

Menurut Iqbal dari Greenpeace, bencana seperti ini adalah bukti nyata ada yang tak beres. "Fungsi mereka tidak bekerja. Entah itu pengawasan atau pengendalian. Bisa juga pembiaran," tegasnya.

Iqbal bahkan tak menampik langkah hukum. Kritik pedas ini patut diapresiasi. Dalam dinamika bernegara, selalu ada momen genting dimana seorang pemimpin dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan di jabatan terhormat, atau melepaskannya demi kehormatan yang lebih tinggi. Sayangnya, di Indonesia, pilihan kedua itu amat langka. Bahkan bisa dibilang, mustahil.

Bayangkan saja. Di sebuah ruang kerja menteri yang megah, seorang pejabat mungkin sedang termenung. Dari jendela lebar, matahari senja menyapu langit. Tapi pikirannya melayang ke Sumatra yang luluh lantak. Laporan-laporan bencana menumpuk di meja, setiap halamannya seolah berteriak tentang kegagalan. Kegagalan sistem, mitigasi, dan koordinasi. Yang paling menusuk adalah pikiran bahwa kebijakannya sendiri mungkin tak cukup ampuh mencegah semua ini.

Dalam kesunyian itu, dia mungkin bertanya pada diri sendiri: pantaskah aku masih duduk di sini?

Secara teori, jabatan adalah amanah. Seorang pemimpin harus siap memikul tanggung jawab, terutama saat keadaan buruk. Namun realita politik kerap berbeda. Banyak yang bertahan dengan segudang alasan: demi kelancaran administrasi, menyelesaikan program, atau sekadar tak ingin dianggap lemah. Tekanan politik begitu kuat.


Halaman:

Komentar