✍🏻 Ustadz Taufik M Yusuf Njong
Siang itu, Kamis 4 Desember 2025, saya mengantarkan bantuan sembako ke sebuah desa di Pidie Jaya, Aceh. Dampak banjir di sana terbilang parah. Saya tertegun, iba melihat pemandangan di depan mata: beberapa ibu paruh baya sedang berjuang membersihkan rumah dan halaman mereka yang diselimuti lumpur tanah liat. Peralatan yang mereka gunakan sangat sederhana, cuma seadanya. Saya sendiri pernah merasakannya betapa penat dan melelahkan mengusir lumpur sebanyak dan setinggi itu. Rasa lelah, bahkan frustasi, mau tak mau harus dihadapi. Memang, tak ada pilihan lain.
Kemudian, saat waktunya mendokumentasikan penyerahan bantuan, saya meminta para ibu itu yang awalnya agak malu-malu untuk menunjukkan ekspresi sedih. Tapi apa yang terjadi? Alih-alih muram, mereka justru tertawa ngakak. Salah seorang ibu bahkan berkomentar, penampilan mereka mirip kerbau yang baru keluar dari kubangan. Lucu sekali! Proses foto pun diulang. Saya mencoba memaksa lagi agar mereka terlihat prihatin. "Cekrek…!" Hasilnya? Tawa mereka kembali pecah. Akhirnya, saya menyerah.
Di tengah bencana, musibah, dan keputusasaan, menertawai nasib sendiri mungkin adalah salah satu cara untuk tetap waras. Barangkali, itulah langkah awal untuk bangkit dari keterpurukan.
Artikel Terkait
Bocah SD Sulap 9 Ton Cangkang Telur Jadi Suplemen Ramah Lambung
AKBP Basuki Tak Terima Dipecat, Ajukan Banding Usai Kasus Dosen Meninggal
Lukas Luwarso Siapkan Tiga Dokumen Baru Usai Gugatan Ditolak KIP
Ekonomi Tumbuh, Dompet Menipis: Platform Ini Tawarkan Penghasilan Harian dari Aset Riil