Mengapa bisa begitu?
Jawabannya terletak pada hal-hal yang tidak kasat mata: sejarah yang terhubung, budaya politik yang serupa, dan komitmen pada norma-norma demokrasi liberal yang sama. Faktor-faktor non-material inilah yang membangun kepercayaan. Dalam pandangan konstruktivis, identitas bersama itulah yang mengubah potensi konflik menjadi fondasi kerja sama.
Pola serupa terlihat di Eropa. Benua yang pernah jadi medan perang berdarah selama berabad-abad, kini menyatu dalam proyek Uni Eropa. Mereka telah beralih dari budaya Hobbesian menuju sesuatu yang lebih Kantian. Integrasi dan solidaritas kini jadi kata kuncinya. Ini bukti nyata: musuh bebuyutan pun bisa berubah menjadi mitra, ketika identitas dan norma bersama direkonstruksi.
Kaitan Erat: Politik Dalam Negeri dan Dunia
Konstruktivisme juga membuka mata kita soal hubungan timbal-balik antara politik domestik dan tatanan global. Bagi paham ini, apa yang terjadi di dalam negeri sebuah negara dipengaruhi oleh norma internasional, dan sebaliknya. Tekanan global soal hak asasi manusia, misalnya, lambat laun mengubah kebijakan dalam negeri banyak negara. Politik domestik suatu negara juga membentuk caranya menanggapi norma global.
Isu perubahan iklim adalah contoh bagus. Awalnya, respons negara-negara maju sangat lamban. Tapi, norma global tentang keberlanjutan dan tanggung jawab moral mulai menggeser kebijakan mereka. Perubahan ini bukan cuma soal dana atau teknologi baru. Ini tentang identitas baru yang ingin dirajut: menjadi "negara hijau" yang bertanggung jawab. Sekali lagi, ide mengubah tindakan.
Lalu, Apa Artinya Bagi Kita?
Pada akhirnya, konstruktivisme mengajak kita untuk sadar: dunia ini tidak netral. Ia adalah hasil dari apa yang kita percayai, apa yang kita anggap wajar, dan cerita apa yang kita bangun tentang "yang lain". Jika negara memilih narasi pertarungan, konflik yang akan muncul. Jika yang dipilih adalah peluang kolaborasi, maka kerja sama yang tumbuh. Dan bila dunia terasa makin berbahaya, mungkin itu bukan salah anarki. Bisa jadi, itu adalah cermin dari cara kita selama ini memaknainya.
Pesan intinya sederhana, tapi mendalam: dunia adalah cermin dari pilihan kolektif kita. Kita bisa memilih budaya permusuhan, persaingan, atau persahabatan. Kita bisa memilih melihat perbatasan sebagai ancaman atau sebagai jembatan. Dunia internasional bukanlah takdir yang sudah ditetapkan. Ia dibangun, ia dinegosiasikan, dan yang terpenting, ia bisa diubah. Dan perubahan itu selalu berawal dari cara kita memaknai satu sama lain.
Artikel Terkait
Mantan Pangdam Diponegoro Diperiksa Kejati Jateng Terkait Dugaan Pencucian Uang Rp237 Miliar
Menteri PPPA: Peran Ayah Kunci Perangi Korupsi dari Dalam Keluarga
Curut Pendukung Gibran Diserang, Rommi Irawan Singgung Lagi Keputusan Paman MK
Reuni 212 Gelar Doa Bersama Sore Ini, Bahas Bencana hingga Palestina