Bayangkan saja, seorang mahasiswi 18 tahun bernama AL baru saja mengkritik kebijakan pemerintah di platform X. Tak lama, teror pun menyusul. Bukan cuma pesan intimidasi yang dia terima, tapi yang lebih mengerikan: nomor WhatsApp ayahnya diretas orang tak dikenal. Mereka mendesak penghapusan unggahan itu. Sungguh, ini jadi bukti lagi betapa ancaman kekerasan digital terhadap warga biasa makin menjadi.
WhatsApp Ayah Dibajak, Teror Menyusup ke Grup Keluarga
Semua berawal pada 1 November 2025. Saat itu AL sedang di rumah bersama orang tuanya. Ayahnya menerima telepon mencurigakan dari seseorang yang menyebut nama lengkap AL dengan rinci. Awalnya dikira penipuan biasa. Tapi semuanya berubah begitu ayahnya pergi ke masjid.
Tiba-tiba, dari nomor ayahnya sendiri, muncul pesan di grup keluarga WhatsApp. Isinya memerintahkan AL menghapus unggahannya di X dalam waktu tiga hari. Padahal, ponsel ayahnya masih tergeletak di meja ruang tamu. Tak mungkin dia yang kirim.
Panik langsung melanda. AL, ibu, dan adiknya buru-buru membalas, tapi si pelaku sudah menghapus pesan itu. AL yakin betul akun WhatsApp ayahnya telah dibajak. Setelah beberapa kali mencoba menelepon, akhirnya mereka berhasil mengamankan akun itu kembali.
Unggahan yang memicu semua ini adalah kritik AL tentang program Makan Bergizi Gratis (MBG). Meski cuma ditonton kurang dari 100 orang dan sama sekali tidak viral, tetap saja jadi sasaran intimidasi.
Kekerasan Digital Meluas: "Sekarang Warga Biasa pun Jadi Target"
Menurut Nenden Sekar Arum, Direktur SAFEnet, pola serangan semacam ini memang tak umum, tapi tujuannya jelas: menebar rasa takut dan membungkam suara kritis. Dia bilang, teror digital sekarang makin acak. Dulu mungkin cuma aktivis yang disasar, sekarang warga biasa yang cuma bikin repost atau kasih komentar ringan pun kena.
Data SAFEnet di awal 2025 menunjukkan peningkatan drastis pelanggaran kebebasan berekspresi dan keamanan digital. Serangan ke individu mencapai 137 kasus, dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Praktisi keamanan siber Teguh Aprianto punya pendapat. Menurutnya, pola teror seperti ini sengaja dilakukan secara terang-terangan untuk menciptakan efek jera. "Ini cara yang efektif bikin orang kapok bersuara," ujarnya.
Bekas Luka di Hati dan Semangat untuk Tetap Bersuara
Walau serangannya cuma sebentar, dampaknya dalam. Ayah AL memintanya berhenti mengomentari isu pemerintahan. Ibunya sempat menangis, tapi tetap memberi dukungan. AL sendiri memutuskan menutup akun X dan memperketat pengamanan digitalnya, plus melapor ke organisasi sipil.
Tapi di tengah semua itu, dia punya tekad.
Kritik tidak boleh dipadamkan.
Artikel Terkait
Perayaan Hari Guru Berujung Petaka, Lantai Sekolah di Banyumas Ambles
Utusan Rahasia Trump Dikirim ke Putin, Upaya Damai Ukraina Masuki Babak Baru
Program MBG Ringankan Beban Ibu, Anak pun Semangat ke Sekolah
Analis: Sikap Anti-Ikhwanul Muslimin Berisiko Sejajarkan Diri dengan Barisan Kafir