Awalnya cuma main bareng game online, eh malah berujung jadi korban cuci otak. Dunia virtual yang semestinya jadi tempat hiburan, kini disinyalir jadi sarang baru bagi kelompok teroris untuk menyebarkan paham radikal dan merekrut anak-anak.
Yang bikin ngeri, data dari Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) menunjukkan ada sekitar 110 anak dari 23 provinsi yang teridentifikasi terpapar paham radikalisme tahun ini. Angkanya melonjak drastis banget. Bayangkan, periode 2011 sampai 2017 aja cuma ditemukan 17 anak. Kenaikannya signifikan banget.
Menurut penyelidikan, ratusan anak ini jadi sasaran empuk perekrutan lewat media sosial dan game online. Tingkat keterpaparannya pun beragam. Ada yang cuma baca-baca doang di grup, ada yang aktif nyebarin konten, sampai yang paling parah ada yang sampai merencanakan aksi pengeboman.
Kasus peledakan bom oleh seorang siswa di SMAN 72 Jakarta Utara beberapa waktu lalu jadi alarm buat kita semua. Itu bukti nyata betapa rentannya anak-anak terpapar ajaran kekerasan.
Nah, yang jadi pertanyaan, gimana sih cara mereka nyusup ke dunia game online?
Kumparan sempat ngobrol langsung dengan Jubir Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, buat ngulik lebih dalam.
Pola Perekrutan Lewat Game Online
Jadi, ceritanya dimulai dari aktivitas main bareng atau mabar. Mereka berinteraksi lewat fitur chat dalam game, diskusi, dan butuh waktu yang nggak sebentar buat saling kenal. Lama-lama, terbentuklah komunitas.
Kelompok teroris ini ternyata jago banget memetakan akun-akun yang punya potensi direkrut secara ideologis. Mereka mulai masukin narasi-narasi heroik dulu, baru kemudian disusupin keyakinan tertentu buat bentuk apa yang disebut virtual community belief komunitas virtual yang anggotanya bahkan belum pernah ketemu sebelumnya.
Setelah visi dan misi sejalan bahkan sampai urusan fantasi anak mereka bakal diajak masuk ke grup yang lebih tertutup dan terenkripsi. Ada yang cuma silent reader, ada juga yang aktif banget sampai ngajak teman-temannya gabung.
Jenis Game yang Disasar
Mayndra menjelaskan, game yang dipilih biasanya yang melibatkan banyak pemain dan punya unsur rivalitas tinggi, semacam battle arena.
Yang bikin merinding, setting permainannya seringkali diadaptasi dari konflik di Timur Tengah, kayak di Suriah atau Irak. Mereka pakai logo-logo custom kayak bendera ISIS, ikat kepala, sampai seragam militer yang identik dengan kelompok teroris internasional itu. Intinya, mereka bikin latihan perang secara virtual.
ISIS yang dimaksud adalah: Islamic State of Iraq and Syria.
Pendekatan ke Anak-anak
Pendekatannya nggak langsung ngomongin terorisme. Mereka bangun kepercayaan dulu, kasih sesuatu yang menarik buat anak, bikin nyaman. Baru setelah itu, gagasan-gagasan radikal mulai diselipin pelan-pelan.
Target Perekrutan
Mereka incar anak-anak yang termarjinalkan. Yang hidup di keluarga nggak harmonis, korban bullying, atau yang kurang dapat perhatian. Dari 110 anak yang teridentifikasi, banyak yang berasal dari latar belakang seperti ini.
Kenapa mereka tertarik? Selain butuh pengakuan, mereka juga butuh ruang buat aktualisasi diri. Komunitas radikal ini janjiin mereka jadi pahlawan, jadi orang yang beda dari yang lain. Propagandanya memang dirancang buat memanfaatkan kerentanan itu.
Artikel Terkait
Tersangka Penculikan Alvaro Tewas Gantung Diri di Sel Tahanan
Ibu Alvaro Akhirnya Tiba, Berpeluk Haru di Tengah Duka
Kecelakaan Maut di Tol Lampung, 207 Ribu Pil Ekstasi Berhamburan
Program Makan Bergizi untuk Baduy Terganjal Medan dan Adat