Saladin dan Romansa Barat: Akar Lintas Agama Hak Asasi Manusia

- Kamis, 11 Desember 2025 | 06:00 WIB
Saladin dan Romansa Barat: Akar Lintas Agama Hak Asasi Manusia

Saladin dalam Romansa Eropa Pasca Perang Salib: Jejak Etis Menuju DUHAM 1948

Oleh: Saleh Hidayat
Anggota “Diskusi Reboan” yang difasilitasi oleh Indonesian Democracy Monitoring (InDemo), Jakarta.

Pembicaraan soal hak asasi manusia kerap berlabuh pada narasi besar Eropa modern. Pencerahan, begitu kata banyak orang, adalah fondasi tunggal martabat manusia universal. Tapi tunggu dulu. Narasi semacam itu tak hanya menyempitkan pandangan, tapi juga dengan mudah mengabaikan tradisi kemanusiaan panjang dari peradaban lain dunia Islam, Byzantium, atau Tiongkok, misalnya.

Di sinilah figur Salahuddin al-Ayyubi, atau Saladin, muncul. Kisahnya dari era Perang Salib justru memberi bukti sejarah yang nyata. Gagasan perlakuan manusiawi ternyata sudah diterapkan, bahkan di tengah situasi perang paling ekstrem sekalipun, jauh sebelum era modern. Premisnya sederhana: teladan historis seperti Saladin bisa dibaca ulang sebagai bagian dari genealogi pemikiran kemanusiaan. Sebuah alur moral yang akhirnya menyumbangkan roh bagi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1948.

Artikel ini mencoba menelusuri relevansi nilai kemanusiaan lintas agama itu. Melalui metode historis-analitis, kita akan menelaah tindakan nyata Saladin bagaimana ia memperlakukan tentara musuh, melindungi warga sipil Yerusalem, dan membina pluralisme. Tak ketinggalan, bagaimana kronikus Barat, dokumen Gereja, dan surat-surat para pemimpin Eropa menggambarkannya. Reputasinya bahkan bertransformasi menjadi figur kesatriaan ideal dalam romansa abad ke-13. Intinya, nilai martabat manusia punya basis historis lintas budaya, jauh sebelum dikodifikasi secara modern.

Latar Belakang yang Berdarah

Perang Salib adalah konflik berlarut-larut antara dunia Latin Barat dan Islam Timur. Dimulai akhir abad ke-11 setelah seruan Paus Urbanus II, perang ini berlapis motif: teologis, ekonomi, geopolitik. Pasukan Eropa yang bergerak ke Tanah Suci membawa ambisi spiritual, tapi juga kontradiksi politik Eropa masa itu.

Penaklukan Yerusalem oleh Tentara Salib tahun 1099 meninggalkan luka mendalam. Sumber Barat dan Timur sama-sama mencatat pembantaian besar-besaran. Peristiwa ini menjadi memori kolektif pahit yang membentuk cara pandang Muslim. Nah, di tengah suasana itu, Saladin muncul di pertengahan abad ke-12. Ia bukan cuma pemersatu dunia Islam, tapi juga membawa visi moral yang berbeda dari kekerasan yang sedang merajalela.

Figur Saladin di Tengah Kancah Perang Abad Pertengahan

Saladin berasal dari dinasti Ayyubiyah. Latar belakangnya campuran: pendidikan religius, pengalaman militer, dan etos kesatriaan. Sumber Muslim menggambarkannya sebagai pribadi yang menekankan keadilan, kemurahan hati, dan lebih memilih perdamaian bila memungkinkan. Konon, ia rajin membaca teks-teks etika kesatriaan Islam (futuwwa) dan berkomitmen pada pengendalian diri dalam perang.

Di ekologi politik abad pertengahan yang ruwet, Saladin harus bernegosiasi dengan banyak kekuatan: Zengid, Fatimiyah, Seljuk, hingga faksi-faksi Latin. Posisi ini menuntut keterampilan diplomasi yang tinggi, plus moralitas yang pragmatis. Alhasil, narasi yang muncul bukan sekadar pemimpin militer, melainkan tokoh moral.

Bagaimana Ia Memperlakukan Musuh

Selain piawai secara strategis, Saladin terkenal karena perlakuannya terhadap tentara lawan. Puncaknya setelah Pertempuran Hattin tahun 1187, saat pasukan Salib mengalami kekalahan besar. Menurut sumber Muslim seperti Ibn al-Athir, Saladin menyediakan perlindungan, makanan, air, dan bantuan medis bagi para tawanan.

Kronikus Latin seperti William of Tyre juga punya catatan menarik. Mereka menyebut Saladin tidak melakukan pembantaian massal, meski norma perang waktu itu membenarkan pembalasan brutal. Di Eropa abad pertengahan, tindakan semacam itu sudah biasa. Jadi, apa yang dilakukan Saladin justru jadi pengecualian yang mencolok.

Surat-menyurat antara Raja Richard I (Si Hati Singa) dengan pihak Ayyubiyah mengungkap kekaguman. Dalam salah satu korespondensi, Saladin disebut sebagai “pembela kehoramatan meski melawan umat Kristen.”

Jadi, ini bukan cuma soal etika futuwwa. Tapi lebih dari itu: penghormatan nyata terhadap nilai kemanusiaan, bahkan kepada musuh yang terluka. Moralitas perang diwujudkan dalam praktik, bukan sekadar wacana.

Yerusalem 1187: Kota Multiagama yang Dipulihkan

Setelah Hattin, Saladin bergerak ke Yerusalem dan menaklukkannya tahun 1187. Dunia menahan napas. Apakah ia akan balas dendam untuk tragedi 1099? Nyatanya, tidak. Berbagai sumber mencatat, tidak ada pembantaian massal ketika pasukannya masuk.


Halaman:

Komentar