Saladin dan Romansa Barat: Akar Lintas Agama Hak Asasi Manusia

- Kamis, 11 Desember 2025 | 06:00 WIB
Saladin dan Romansa Barat: Akar Lintas Agama Hak Asasi Manusia

Kaum Kristen Ortodoks, Armenia, Koptik, dan Suriah justru diberi kebebasan beribadah. Gereja Makam Kudus tetap berfungsi. Komunitas Yahudi yang diusir sebelumnya diizinkan kembali. Saladin mengatur evakuasi warga Latin yang ingin pergi. Bagi yang tak mampu bayar tebusan, ia pakai hartanya sendiri untuk membebaskan mereka.

Tindakan ini mengembalikan Yerusalem sebagai kota multireligius. Visinya jelas: kota suci bukan monopoli satu kelompok agama saja. Di abad pertengahan, kebijakan seperti ini sungguh luar biasa.

Beberapa kesatria Latin yang menyaksikan langsung mencatat kesan mereka. Perlakuan baik pasukan Ayyubiyah terhadap perempuan dan anak-anak terekam dalam laporan yang kemudian beredar di Eropa, mengubah persepsi banyak orang.

Dilihat dari Kacamata Barat

Kronikus Barat seperti William of Tyre dan Ernoul memberi gambaran penting tentang interaksi antara Tentara Salib, Gereja, dan dunia Islam. Dokumen Gereja dan laporan utusan Paus juga mengungkap bagaimana perkembangan politik di Tanah Suci dinilai.

Yang menarik, korespondensi antara Raja Richard I dan Saladin menunjukkan hubungan diplomatik yang melampaui permusuhan. Dalam satu surat, Richard menyebut kekagumannya pada kemurahan hati dan integritas moral Saladin. Di sisi lain, laporan yang dikirim ke Eropa kerap membandingkan karakter Saladin dengan pemimpin Latin yang dianggap kurang kristiani. Pelan-pelan, figur Saladin merasuk ke ruang moral Eropa bukan sebagai musuh, tapi cermin kesatriaan ideal.

Transformasi dalam Romansa Eropa

Setelah wafatnya tahun 1193, citra Saladin mengalami perubahan luar biasa dalam literatur Eropa. Di abad ke-13, ia masuk ke dunia romansa dan legenda. Dalam teks-teks itu, ia digambarkan sebagai pemurah, adil, setia pada kode moral, dan cerdik dalam diplomasi.

Banyak naskah menempatkannya sebagai “noble adversary” musuh terhormat yang justru bisa jadi teladan. Bahkan ada kisah fiktif yang menyebut Saladin menyamar ke Eropa untuk mempelajari nilai-nilai kesatriaan Kristen. Transformasi ini menunjukkan ia telah menjadi figur universal, melampaui batas agama dan politik.

Jejak Menuju 1948

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 jelas sebuah tonggak. Tapi deklarasi ini bukan penciptaan nilai baru. Ia adalah penyatuan nilai kemanusiaan yang telah berdenyut dalam berbagai tradisi selama berabad-abad.

Dalam perdebatan penyusunannya, tokoh seperti Charles Malik, Peng Chun Chang, dan Hansa Mehta menegaskan bahwa martabat manusia adalah warisan budaya universal. Eleonore Roosevelt pernah bilang:

Nah, ketika tindakan Saladin dibaca dalam genealogi hak asasi manusia, kita lihat keselarasannya: penghormatan pada tawanan, perlindungan warga sipil, pluralisme agama. Praktik itu sejalan dengan nilai-nilai yang ingin ditegakkan DUHAM. Jadi, Saladin bersama tokoh lain dari berbagai peradaban turut membentuk landasan moral bagi norma hukum internasional modern.

Pembacaan atas figur Saladin membuka diskusi penting: sejarah moral dan hukum hak asasi manusia itu terkait erat. Nilai kemanusiaan bukan milik satu peradaban saja. Di tengah kekerasan ekstrem abad pertengahan, pilihan Saladin untuk berpegang pada etika justru membuktikan bahwa nilai-nilai itu sudah dipraktikkan jauh sebelum dikodifikasi secara legalistik.

Berdasarkan sumber Barat dan Muslim, tindakan kemanusiaannya bukan cuma dihormati lawan, tapi juga jadi inspirasi moral dalam sastra Barat. Ini indikasi kuat: ada kesamaan nilai etis lintas peradaban yang menjadi dasar filosofis hak asasi manusia.

Dalam diskursus akademik sekarang, genealogi nilai HAM harus dilihat sebagai proses lintas budaya. Saladin adalah salah satu contoh historis penting. Melalui pengaruhnya yang luas, ia memberi landasan untuk memahami bahwa universalitas HAM bukan sekadar konstruksi politik Barat, tapi hasil perjumpaan nilai global.

Singkatnya, Saladin memainkan peran penting dalam sejarah moralitas perang dan hubungan antaragama. Perlakuannya pada musuh, kebijakannya di Yerusalem, dan reputasinya di mata Barat menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan telah hidup dalam praktik, jauh sebelum DUHAM lahir. Transformasinya dalam romansa Eropa membuktikan: musuh pun bisa jadi teladan. Nilai-nilai itu bersifat transkultural, mampu menjembatani perbedaan identitas.

Dengan begitu, deklarasi universal 1948 bisa dipahami sebagai puncak dari sejarah panjang nilai kemanusiaan global. Dan di salah satu bagian sejarah itu, terukir nama Salahuddin al-Ayyubi.


Halaman:

Komentar