"Proses penyelidikan bisa dimulai melalui wawancara tanpa orang tersebut tahu sedang dalam proses hukum. Pernyataannya kemudian bisa dijadikan alat bukti untuk menangkapnya. Ini tidak adil," kritik Feri.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tak kalah vokal. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa RUU KUHAP ini dinilai mendegradasi standar HAM yang sudah ada.
"RUU KUHAP mendegradasi standar hak asasi yang diatur dalam konvensi hak sipil dan politik mengenai prinsip peradilan yang jujur dan adil," tegas juru bicara YLBHI.
Menanggapi gelombang kritik ini, Mardani Ali Sera mengakuinya. Kekhawatiran dari kalangan masyarakat sipil, menurutnya, adalah hal yang wajar dan perlu didengar.
"Banyak teman dari masyarakat sivill khawatir tentang menguatnya peran kepolisian tanpa kontrol yang mencukupi. Ini legitimate concern yang harus didengar," ujarnya.
Namun begitu, Bivitri punya catatan akhir yang cukup tajam. Meski secara teori ada mekanisme pengawasan hakim untuk beberapa upaya paksa, pada praktiknya klausul pengecualian berbasis diskresi penyidik bisa membuat kontrol itu jadi mandul.
"Kalau di lapangan, pengecualian itu yang akan sering dipakai. Makanya pengawasan institusi harus diperkuat dulu sebelum memberi kewenangan tambahan," pungkasnya.
Artikel Terkait
Kisah Misterius di Balik Kematian Dosen Untag, Polisi Selidiki Keterangan Kekasih
Pencarian Dua Korban Longsor Cilacap Diakhiri, Keluarga Pasrah
Derby London Memanas, Arsenal Berburu Puncak Klasemen di Hadapan Tottenham
Operasi SAR Cibeunying Berakhir, Dua Bocah Korban Longsor Tak Ditemukan