Fenomena PETI di Ketapang sebenarnya sudah seperti cerita yang tak pernah usai. Bukan isu baru. Aparat sudah berkali-kali melakukan penertiban, tapi kegiatan ini bagai jamur di musim hujan—selalu tumbuh kembali. Banyak yang menduga, keberadaan WNA asal China ini bukanlah suatu kebetulan. Mereka sering dikaitkan dengan operasi tambang yang lebih terorganisir dan butuh keahlian teknis tertentu.
Di sisi lain, posisi masyarakat lokal kerap kali terasa menyedihkan. Hanya menjadi penonton yang tak berdaya, sekaligus korban utama dari kerusakan lingkungan yang ditinggalkan. Mereka yang hidupnya bergantung pada sungai dan hutan, harus menanggung beban terberat.
Harapan warga kini tertumpu pada aparat penegak hukum. Mereka mendesak agar pemerintah segera turun tangan, sebelum aktivitas ilegal ini makin menjadi-jadi. Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan transparan. Bukan hanya mengusir para pekerja di lapangan, tetapi juga menindak tegas aktor intelektual dan para cukong yang berada di belakang layar.
Kasus terbaru ini adalah pengingat yang nyata. Ancaman eksploitasi ilegal terhadap kekayaan alam di pedalaman Kalimantan Barat masih sangat hidup. Tanpa langkah strategis dan pengawasan yang ketat, yang hilang bukan cuma emas dari perut bumi. Masa depan lingkungan, serta keselamatan warga yang hidupnya bergantung pada tanah dan sungai, juga terus dikikis secara brutal.
Artikel Terkait
Roy Suryo Santai Ditahan Mencegah Keluar Negeri, Klaim Buku Black Paper Sudah Rampung
Sunyi di Gunung Peti, 88 Lubang Tambang Ilegal Akhirnya Ditimbun
Blok Penuntun Tunanetra di Jakarta: Ada yang Utuh, Banyak yang Menjerumuskan
Anak Tebas Leher Ayah Kandung di Rajabasa, Kabur Bawa Golok