Nasionalisasi: Perampokan Hukum Adat?
Pasca kemerdekaan, UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda mengalihkan tanah-tanah konsesi menjadi aset perusahaan negara. Tanah yang sebelumnya milik kesultanan dan masyarakat adat tiba-tiba menjadi hak BUMN, tanpa kompensasi yang memadai.
"Pemerintah Hindia Belanda saja masih menghargai hak-hak suku Melayu pada masa kolonial, tapi pada masa kemerdekaan, Pemerintah Indonesia tak sedikit pun memberi penghargaan," ujar Bachtiar Jafar, Mantan Wali Kota Medan.
Prof. Mariam Darus menyebutnya sebagai pengambilalihan yang bertentangan dengan hukum dan moral, sementara Prof. Edy Ikhsan menilainya sebagai "perampokan dan kudeta hukum adat".
Upaya rekonsiliasi seperti pemberian 450 hektar lahan kepada masyarakat Melayu melalui SK BPN 2002 dan 2004 terbentur kewajiban membayar ganti rugi Rp100.000 per meter persegi, atau total Rp450 miliar—suatu angka yang tak terjangkau.
Jalan Keluar yang Diimpikan
Beberapa solusi ditawarkan untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini:
- Melibatkan kesultanan dalam kepemilikan saham BUMN yang mengelola lahan bekas konsesi.
- Mengalokasikan sebagian lahan (misalnya 2.000-5.000 hektar dari 49.000 hektar sisa) kepada kesultanan sebagai bentuk pengakuan.
- Merealisasikan hibah 450 hektar tanpa kompensasi dan mempermudah perolehan hak.
- Menyisihkan 10-20% dari hasil penjualan lahan kepada pengembang untuk kesultanan.
Kesultanan Sumatera Timur tidak meminta kemewahan, melainkan pengakuan jujur atas kontribusi sejarah mereka. Tanah yang kini menghidupi BUMN adalah warisan yang dibangun oleh leluhur Melayu. Tanpa penyelesaian yang adil, bangsa ini akan terus menyaksikan anak-anaknya menjadi penonton di tanah sendiri.
Artikel Terkait
Gaza Berduka, 22 Nyawa Melayang dalam Serangan Terbaru Israel
BNPB Kosongkan Besuk Kobokan, Jalur Lahar Semeru Kembali Mengamuk
Nasib Pilu Dua Pemancing di Pantai Ciemas Berakhir di Ruang Visum
Gempa Dangkal Guncang Bandung, Enam Kali Getaran Terasa hingga Dini Hari