Mampukah NATO Pasifik Menjadi Kenyataan? Analisis Jaringan Pertahanan 2025-2030

- Rabu, 19 November 2025 | 14:00 WIB
Mampukah NATO Pasifik Menjadi Kenyataan? Analisis Jaringan Pertahanan 2025-2030

Intensifikasi latihan militer di Indo-Pasifik pada 2025 menunjukkan pola "hub-and-spoke" Amerika Serikat yang semakin terhubung, dengan lebih dari 25 negara terlibat dalam agenda rutin. RIMPAC, yang melibatkan lebih dari 25.000 personel di Hawaii, tetap menjadi fondasi multilateral terluas dengan fokus multidomain maritim.

Super Garuda Shield di Indonesia menghadirkan 6.500 personel dari 14 negara, menekankan interoperabilitas dan memperluas keterlibatan ASEAN ke dalam orbit QUAD/AUKUS. Sementara itu, Balikatan di Filipina, dengan lebih dari 16.000 personel dari lima negara, memperkuat hub AS–Filipina dalam pertahanan wilayah.

Talisman Sabre di Australia, melibatkan lebih dari 30.000 personel dari delapan negara, menegaskan integrasi AUKUS dengan mitra eksternal melalui operasi gabungan darat-laut-udara. Malabar, latihan bergilir antara India, AS, Jepang, dan Australia dengan lebih dari 4.000 personel, menekankan anti-submarine warfare sebagai inti QUAD yang berpotensi diperluas.

Pola intensifikasi latihan militer ini lebih mencerminkan "networked deterrence" daripada pakta mengikat, karena negara seperti Indonesia dan India tetap menolak komitmen mutual defense yang eksplisit.

Prediksi Jangka Pendek dan Menengah: Hedging vs. Eskalasi

Waktu Dekat (2025–2026): Kemungkinan terbentuknya NATO Pasifik penuh sangat rendah. Pakta Indonesia–Australia bersifat bilateral, dan latihan militer tahun 2025 masih berfokus pada aspek taktis, bukan institusional. NATO sendiri tetap memprioritaskan Eropa dengan target pengeluaran pertahanan hingga 2035, sementara kemitraan IP4 (Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru) masih bersifat longgar. Probabilitas: 10–20%.

Kurun 5 Tahun (2027–2030): Potensi moderat untuk "NATO-lite" seperti perluasan QUAD menjadi QUAD (termasuk Filipina, Indonesia) atau AUKUS Pillar II (teknologi AI/nuklir) yang mencakup lebih banyak mitra. Proyeksi analisis menunjukkan bahwa jika terjadi invasi Taiwan (dengan kemungkinan tertinggi pada periode 2027–2029), ini bisa mempercepat formalisasi aliansi, dengan latihan militer trilateral sebagai prototipe pertahanan udara kolektif.

Namun, hambatan utama tetap ada: diversitas ancaman yang dihadapi masing-masing negara dan strategi hedging ASEAN, di mana Indonesia tetap memprioritaskan netralitas demi manfaat ekonomi dari Belt and Road Initiative China. Probabilitas: 40–60%, dengan skenario baseline berupa "enhanced minilateralism" daripada aliansi tunggal.

Secara keseluruhan, dua faktor utama—pakta bilateral Indonesia–Australia dan intensifikasi latihan multinasional—memperkuat jaringan keamanan yang dipimpin AS, tetapi belum cukup untuk membentuk NATO Pasifik yang sepenuhnya.

"Tanpa komitmen mutual yang mengikat, ini hanyalah watershed bilateral, bukan lompatan menuju aliansi formal."

Keberhasilan pembentukan aliansi semacam ini bergantung pada apakah eskalasi China memaksa negara-negara Asia Tenggara keluar dari strategi hedging, menuju restrukturisasi demokratis berbasis norma liberal dalam kerangka teori hedging kontemporer.


Halaman:

Komentar