Jurang antara bangku kuliah dan realita ruang kelas kian melebar. Banyak mahasiswa yang mengaku gagap menghadapi kelas dengan jumlah siswa yang besar atau tuntutan transformasi digital, sementara banyak sekolah masih berkutat dengan sistem yang konvensional. Sila keadilan sosial menemukan relevansinya di sini. Keadilan tidak hanya terletak pada besaran gaji, tetapi juga pada kesempatan pengembangan diri, lingkungan kerja yang manusiawi, dan pengakuan atas dedikasi.
Di tengah tantangan yang membayang, secercah harapan tetap ada. Inisiatif seperti program Guru Penggerak, pelatihan kompetensi digital, dan perbaikan skema tunjangan di beberapa daerah menunjukkan langkah progresif. Perguruan tinggi juga dapat berkontribusi dengan memperkuat pengalaman praktik lapangan, bukan sekadar membekali teori. Mahasiswa perlu merasakan langsung bahwa kompetensi yang mereka kuasa benar-benar bermakna di ruang kelas.
Pilihan mahasiswa pendidikan untuk menghindari profesi guru bukanlah indikator merosotnya idealisme semata. Ini adalah alarm darurat bagi sebuah sistem yang memerlukan transformasi mendasar. Hari Guru semestinya menjadi momen refleksi jujur atas persoalan ini, bukan sekadar seremoni. Guru adalah representasi hidup nilai-nilai Pancasila dalam aksi. Jika profesi mulia ini ingin kembali diminati, negara dan masyarakat harus memberikan penghargaan yang setara dengan peran strategis yang mereka emban.
Sudah saatnya kita memastikan bahwa setiap calon guru memiliki masa depan yang layak dan dihargai. Bila tidak, bangsa ini bukan hanya akan kehilangan tenaga pengajar, melainkan juga fondasi pendidikan yang manusiawi, adil, dan selaras dengan jiwa Pancasila.
Artikel Terkait
Trump dan MBS Bahas Normalisasi Israel dalam Pertemuan Bersejarah di Gedung Putih
Trump Bela Pangeran Saudi: Dia Tidak Tahu Apa-Apa Soal Khashoggi
Klaim Cinta Eksklusif Habib Bahar bin Smith Tuai Badai Kontroversi
Trump Gelar Jamuan Megah untuk Pangeran Saudi, Ronaldo hingga Elon Musk Hadir