Eksodus Calon Guru: Alarm Darurat bagi Masa Depan Bangsa

- Rabu, 19 November 2025 | 07:00 WIB
Eksodus Calon Guru: Alarm Darurat bagi Masa Depan Bangsa

Eksodus Calon Guru: Alarm bagi Masa Depan Pendidikan Nasional

Bayangkan seorang sarjana pendidikan yang akhirnya memilih untuk tidak pernah menginjakkan kaki di kelas. Fenomena ini bukan lagi sekadar anekdot, melainkan realitas pahit yang menggerogoti fondasi sistem pendidikan kita. Di balik gegap gempita perayaan Hari Guru, tersembunyi kegelisahan massal para calon pendidik yang ragu menjalani panggilan jiwanya.

Koridor kampus kini menjadi saksi bisu pergeseran minat karier ini. Banyak lulusan fresh graduate yang justru melirik dunia korporasi atau industri kreatif. Ketakutan akan gaji yang tidak kompetitif, beban administratif yang menggunung, dan tuntutan tanpa henti menjadi hantu yang menakutkan. Data Bank Dunia 2024 mengonfirmasi kegelisahan ini, dengan lebih dari separuh tenaga pendidik muda menilai profesi guru kurang menarik secara ekonomi dan minim jalur karier yang jelas. Kementerian Pendidikan sendiri mencatat defisit ratusan ribu guru di berbagai daerah. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan narasi pilu dari generasi yang gamang melangkah ke depan kelas.

Dinamika kurikulum yang tak kunjung stabil semakin memperparah situasi. Pergantian dari KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka memaksa guru dan calon guru untuk terus beradaptasi, seringkali tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Kondisi ini menjadikan profesi guru bagai medan pertempuran tanpa ujung, mendorong banyak mahasiswa memilih jalur karier lain yang lebih stabil dan terukur.

Dari kacamata Pendidikan Pancasila, profesi guru sejatinya merupakan perwujudan nyata sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Guru bukan sekadar transmiter ilmu, melainkan pematri karakter. Namun, bagaimana nilai luhur ini dapat diteladani oleh peserta didik jika para guru sendiri terkungkung oleh kelelahan akibat beban administratif dan turbulensi kurikulum? Guru mengajarkan semangat gotong royong, namun dalam praktiknya sering kali harus berjuang sendirian. Bila kondisi ini terus berlanjut, bagaimana mungkin generasi muda termotivasi untuk meneladani profesi yang seharusnya menjadi cerminan nilai-nilai Pancasila?


Halaman:

Komentar