Gelombang Dukungan untuk Putri Aiko: Desakan agar Wanita Bisa Naik Takhta
Tanggal 1 Desember lalu, Putri Aiko genap berusia 24 tahun. Namun, perayaan ulang tahun anggota keluarga kekaisaran itu diwarnai aksi unjuk rasa. Para pendukungnya justru memanfaatkan momen itu untuk menyuarakan tuntutan perubahan radikal pada aturan monarki yang telah berusia lama.
Mereka mendesak pemerintah agar mengizinkan wanita naik takhta sebuah hak yang telah hilang dari perempuan Jepang selama lebih dari seratus tahun. Suara mereka kian lantang seiring dengan popularitas Putri Aiko, satu-satunya anak dari Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako. Bagi banyak pengunjuk rasa, aturan warisan takhta yang hanya menguntungkan laki-laki sudah sangat ketinggalan zaman dan perlu segera ditinjau ulang.
Aturan yang kontroversial ini berakar jauh. Pertama kali diberlakukan dalam Konstitusi Meiji tahun 1889, lalu dikukuhkan kembali oleh Undang-Undang Rumah Tangga Kekaisaran 1947 pasca perang. Undang-undang itu tidak hanya melarang perempuan memerintah, tetapi juga secara otomatis mencabut status kerajaan seorang putri jika ia menikah dengan rakyat biasa.
Sejarah mencatat, pemimpin wanita terakhir Jepang adalah Kaisar Gosakuramachi. Ia memerintah dari tahun 1762 hingga 1770. Itu artinya, sudah lebih dari 250 tahun negeri matahari terbit ini tidak dipimpin oleh seorang perempuan.
Artikel Terkait
Lee Jung Ha Pilih Jalur Marinir untuk Wajib Militer 2026
Jackie Chan Buka Hati, Putri yang Terasing Akhirnya Diakui dalam Wasiat
Fahmi Bo Ungkap Tantangan Terakhir di Tengah Pemulihan Pascaoperasi
Inara Rusli Terjebak, Talak dari Insanul Fahmi Tak Kunjung Datang