“Kalau dari bandara, Central Parkir, Seminyak kemudian Canggu, dari survei pergerakannya itu 85 persen adalah untuk berwisata atau bisnis dan masyarakat lokal hanya 15 persen,” imbuhnya.
Sang Made Mahendra Jaya menambahkan opsi membangun transportasi publik di bawah tanah menjadi pilihan mengingat sepanjang jalan di kawasan tersebut sempit dan padat infrastruktur di antaranya perhotelan, vila, bar, kafe serta rumah penduduk Bali yang masing-masing memiliki tempat ibadah.
Dengan kondisi itu, opsi pelebaran jalan juga dinilai memberatkan baik dari sisi finansial hingga sosial budaya masyarakat.
Selain itu, terbatasnya lahan dan upaya menjaga keaslian Bali sehingga opsi kereta bawah tanah menjadi alternatif, didukung dengan belum optimalnya pemanfaatan ruang bawah tanah di Bali.
“Nantinya dapat lebih optimal dimanfaatkan misalnya di TOD (transit oriented development/pembangunan berbasis transit), ada ritel, dan utilitas perkotaan, jaringan telekomunikasi, pipa air, listrik dan gas,” ucapnya.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: sinarharapan.co
Artikel Terkait
Menguak Struktur Kepemilikan dan Peta Bisnis GPRA, Emiten Properti dengan 30+ Proyek
Pertamina Siap Setor Dividen Rp 42,1 Triliun ke Negara, Realisasi Capai Rp 23 Triliun
IHSG Pacu Kenaikan 57 Poin di Sesi I, Sektor Energi Jadi Lokomotif
Astra International Gelar Rotasi Strategis di Jajaran Direksi dan Komisaris