Nah, ada satu hal lagi yang mungkin paling mengikat kita: rasa takut rugi atau loss aversion. Perasaan ini begitu kuat, bahkan lebih dominan daripada rasa senang saat mendapat keuntungan. Ini yang membuat orang bertahan pada aset yang nilainya terus merosot, berharap ia akan kembali ke harga semula. Padahal, dalam banyak kasus, penurunan itu bersifat fundamental. Ketakutan untuk mengakui kerugian justru sering membuat kerugiannya semakin dalam.
Namun begitu, memahami semua pola ini bukan berarti kita harus membuang semua emosi. Itu mustahil. Emosi adalah bagian dari menjadi manusia. Hal yang lebih realistis dan penting adalah menyadari pengaruh besarnya. Dengan kesadaran itu, kita bisa mulai mengelolanya.
Beberapa langkah sederhana bisa membantu. Misalnya, membuat perencanaan anggaran yang jelas. Atau memberi jeda, hitung sampai sepuluh, sebelum melakukan transaksi besar. Hindari juga mengambil keputusan penting saat emosi sedang memuncak, entah itu senang berlebihan atau sedih yang mendalam.
Pada intinya, behavioural finance mengajarkan satu hal penting: mengelola keuangan bukan cuma soal angka dan strategi. Ia juga tentang memahami diri sendiri, mengenali bias dan kecenderungan psikologis yang diam-diam memengaruhi kita. Dengan pengenalan itu, peluang untuk membangun hubungan yang lebih sehat dengan uang jadi lebih besar. Hubungan yang lebih terencana, lebih tenang, dan tidak mudah terseret arus emosi sesaat yang menipu.
Artikel Terkait
IHSG Tergelincir 80 Poin, Sentimen Negatif Gempur Pasar
Air Borneo Siap Terbang, Sambungkan Sarawak dan Ibu Kota Nusantara
IHSG Tergelincir 80 Poin, Lotte Chemical Anjlok 15%
Ekspor Perikanan Tembus USD 5 Miliar, ASEAN Jadi Pasar Andalan